I. PENDAHULUAN
Manusia
diciptakan
Tuhan
secara
sempurna
di
alam
ini.
Hakekat
manusia yang menjadikan ia
berbeda
dengan
lainnya
adalah
bahwa sesungguhnya manusia yang membutuhkan bimbingan dan
pendidikan.
Hanya melalui pendidikan manusia sebagai homo educable dapat dididik, dengan pelantara guru.
Dan
pendidikan
sebagai
alat
yang
ampuh
untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia.
Sehingga
ia mampu menjadi khalifah di
bumi, pendudung dan
pengembang kebudayaan.
Dalam suatu
pendidikan
ini
memiliki
tujuan
yang
akan
dicapai,
sebagai mana ungkapan Miskawaih “Pendidikan itu
bertujuan untuk terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir dari
prilaku-prilaku luhur dan berbudi
pekerti mulia”.1
Untuk membentuk
pribadi atau watak terhadap anak ini, tidaklah
semudah membalikkan
telapak
tangan, melalui
pendidikanlah
pribadi
tersebut akan tercipta atau melekat pada jiwa anak, dan dalam pendidikan ini memperkenalkan beberapa metode
antara
lain
metode kebiasaan, keteladanan dan lain-lain.
Hendaklah orang tua
untuk
selalu
membiasakan dan
melatih
anaknya untuk menghormati guru atau memuliakannya
dan
orang
yang
lebih tua dari padanya. Di antara memuliakan
guru adalah tidak berjalan di
depannya, tidak duduk di tempat
duduknya,
tidak
memulai berbicara
1 Fakultas
Tarbiyah IAIN
Wali
Songo, “Jurnal
Ilmu Pendidikan dan Islam”, Media
(Semarang : Edisi
29/
Agustus/Th VII/ 1998), Hlm. 15
kecuali mendapat izin
darinya, tidak banyak
bicara, tidak mengajukan
pertanyaan didapat
guru
dalam
keadaan
tidak
enak,
dan
jagalah
waktu,
jangan sampai mengetuk pintunya, harus sabar
menunggu sampai guru keluar.2 Karena pembiasaan-pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak
yang
lambat
laun
sikap
itu
akan
bertambah jelas dan
kuat,
akhirnya
tidak
tergoyahkan
lagi
telah
masuk menjadi
bagian dari pribadinya.3
II. PERMASALAHAN
Dari uraian
di atas, maka timbullah permasalahan setidaknya ada
dua permasalahan dalam pembahasan
yaitu:
1. Apa saja adab murid terhadap guru dalam kitab Ihya’ Ulumuddin
?
2. Bagaimana relevansinya adab murid terhadap guru dengan
pembentukan kepribadian muslim ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Adab Murid
Terhadap Guru
Kata Adab ini berasal dari bahasa
arab
yaitu
aduba,
ya’dabu,
adaban, yang mempunyai
arti
bersopan
santun,
beradab.4 Sedangkan dalam kamus besar indonesia menyebutkan adab berarti kesopanan, tingkah laku, dan akhlak.5 kata adab ini tidak sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan yang sering digunakan adalah kata akhlak.
hlm.17
2 Syekh
Ibrahim
bin
Ismail, Syarak Ta’lim Muta’lim, (Indonesia ; C V Karya
Insan,
t.th),
3 Zakiyah
Darazat, Ilmu
Jiwa agama, (Jakarta:P.T. Bulan Bintang, 1996), Cet XII,
Hlm.61-62
4Muhammad Yunus, Kamus
Bahasa Arab Indonesia,
(Jakarta : Haida Karya
Agung,
1990),Hlm.38
5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1997),
Cet III, Hlm. 5
6 ﺔﻴﻧ ﺎﺴﻧ او ﺎﺑ دأ ﻰﻤﺴﻳ ﻞﻌﻔﻟاو لﻮﻘﻟا
ﻲﻓ ﺔﻠﻣﺎﻌﻤﻟا
ﻦﺴﺣو ﺔﻤﻳﺮﻜﻟا
ق ﻼﺧﻷﺎﺑ
ﻖﻠﺨﺘﻟا
“berakhlak
dengan
akhlak
yang
mulia
dan
bagusnya
cara
bergaul
dalam ucapan maupun
perbuatan
inilah
yang
dinamakan adab dan kemanusian
“.
Sedangkan Murid
adalah orang yang
menghendaki
agar mendapatkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan
kepribadian yang baik untuk bekal hidup agar bahagia di dunia dan di akhirat
dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh.7 Dan guru adalah
orang yang menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Dari uraian di atas, dapat
ditarik benang merah bahwa adab murid terhadap guru adalah bagaimana hubungan murid dengan guru
dalam belajar baik di dalam kelas maupun diluar kelas.
B. Adab Murid Terhadap Guru
Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin
Pendidikan seharusnya dipahami sebagai suatu proses
timbal balik tiap-tiap pribadi
manusia dalam penyesuaian dirinya dengan
alam, dengan teman (sesama teman), dan dengan alam semesta. Dari
proses pendidikan tersebut dapat menimbulkan perubahan pada pribadi manusia, sebagaimana pendapat Sir gord
Frey
Thomas dalam A Modern Philosophy of Education
dijelaskan
bahwa
“By Education means the influence of environment upon the individual to produce a permanent change
in
his
habits
behaviour, of
thoung,
and
of
attitude”.8 Artinya yang dimaksud dengan pendidikan adalah hasil
pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan
6 Ali Fikri, Adabul Fataat, (Bairut Libanan : Darul kutub, t.th), Hlm. 7
7 Abudin
Nata,
Persepektif Islam
Tentang
pola
Hubungan Guru- Murid
(Studi
Pemikiran
Tasawuf Al-Ghazali), (Jakarta ; Grafindo Persada, 2001), Hlm. 49
8 Sir Gord Frey Thomsons, A Modern Philosophy of Education, (London : 1957), hlm. 19
perubahan yang
bersifat
permanen di dalam
kebiasaan, tingkah laku,
pemikiran dan sikap.
Dari uraian di
atas
dapat
dilihat
bahwa
dalam
proses pendidikan yang
berlangsung, tidak lepas dari intraction education (hubungan antara
murid
dengan
guru).
Di
mana seorang murid itu
dalam menuntut
ilmu bukan mencari lembaga
tetapi
mencari guru, mengapa? Karena
seorang murid ini akan mengabdi
kepada gurunya. Hubungan yang
terjalin antara
murid dengan
guru
selalu
intim,
sebagaimana murid menghormati
gurunya
seperti
seorang
ayah
dan
mematuhinya,
bahkan
dalam
hal-hal
pribadi
yang
tidak
langsung
berkaitan dengan pendidikannya secara formal.
Hubungan yang terjalin antara murid dan gurunya ini, akan
memberi pengaruh
sikap dan kepribadian murid dalam kesehariannya,
dan berhasil atau
tidaknya dalam
mencapai cita-cita yang
akan dicapainya. Oleh karena itu al-Ghazali menjelaskan dalam
kitab Ihya
‘Ulumuddinnya, adab murid
terhadap
guru,
supaya
apa
yang
dicita-
citakan oleh murid akan
berhasil dengan
baik,
dan
adab
murid
terhadap
guru antara lain:
“Seorang Pelajar itu jangan menyombong dengan
ilmunya
dan
jangan menentang
gurunya.”9
Seorang
murid
hendaklah mendengarkan
dengan baik
semua nasehat-nasehat gurunya dan mengindahkannya atau
melaksanakan dalam kehidupan
sehari
yakni
tindak
tanduknya
ketika dalam
menuntut ilmu supaya ilmu itu
mendekat tidak menjauh demi mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Alangkah
9 Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin I, (Indonesia :
Toha Putra, t.th), Hlm. 50
baiknya seorang
pelajar
ini,
mematuhi
dan
melaksanakan
segala
nasehat, perintah atau perkataan gurunya. Nasehat yang diberikannya bermanfaat bagi murid
untuk
mencapai apa yang dicita-citakannya.
“Tidaklah lanyak
seorang
pelajar
menyombongkan terhadap gurunya, termasuk
sebagian
dari
pada
menyombong
terhadap
guru itu,
ialah
tidak
mau belajar kecuali yang
terkenal
benar
keahliannya”.10
Dalam
menuntut
ilmu, janganlah memandang siapa
yang
menyampaikannya
(guru)
apakah
ia
terkenal
atau
tidak,
karena
ilmu pengetahuan itu bagaikan
barang
yang
hilang
dari
tangan
seorang mu’min, yang harus dipungut
atau dicarinya di mana saja
diperolehnya. Dan hendaklah mengucapkan rasa
terima kasih kepada siapa saja
yang
membawanya kepadanya. Sebagaimana ungkapkan syair sebagai berikut:
Pengetahuan adalah perjuangan
Bagi pemuda yang
bercita-cita tinggi Seumpamanya banjir
itu adaah perjuangan Bagi sesuatu tempat tingg…..….
“Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian”.11
Sebagaimana seorang murid dalam menuntut ilmu,
janganlah sifat
tamak dalam (menginginkan sesuatu yang
belum
semestinya), sebab hanya
akan
menghasilkan
dirinya
hina.
Dan
10 Al-Ghazali, Ibid
11 Al-Ghazali, Ibid.
menjaga sesuatu yang mengakibatkan ilmu beserta ahlinya menjadi
hina, akan tetapi hendaklah
tawaduk (rendah hati), karena dengan tawaduk ilmu itu akan melekat
dalam
hati
sehingga
manusia
dan
beradab/bermoral.
“Sesungguhnya sikap tawaduk (rendah
hati) adalah sebagian
dari
sifat-sifat orang
yang
takwa
kepada
Allah
SWT.
Dan
dengan
tawaduk akan semakin baik derajatnya menuju keluhuran.”12
Selain tawaduk, hendaklah murid mendengarkan
keterangan guru dengan penuh perhatian,
supaya
dapat
menyerap seluruh yang disampaikan guru. Tiada yang menolong
kepada
pemahaman selain
dengan
mempergunakan
pendengaran
dengan
berhati-hati dan sepenuh jiwa. Meskipun
keterangan
itu
sudah
pernah didengar seribu
kali,
hendaknya keterangan tersebut didengarkan seperti ia
mendengarkan pertama kali.
Dalam hal ini al-Ghazali mengibaratkan seorang murid bagaikan tanah kering yang disirami hujan lebat. Maka meresaplah keseluruhan bahagiannya
dan
meratalah
keseluruhannya air hujan itu.13
“Manakala guru itu menunjukkan
jalan
kepadanya
hendaklah
ditaati dan ditinggalkan pendapat sendiri.”
Seorang
pelajar
hendaklah mentaati apa
yang
menjadi
keputusan gurunya dalam menentukan kurikulum, jangan mengikuti
pendapat
dan
kehendaknya
sendiri,
karena
guru
lebih
tahu tingkatan-tingkatan pengetahuan yang harus diberikan
12 Syaih Az-Zarnuji, Penj: Noor Anfa Shiddiq, Terjemah
Ta’limMuta’lim, (Surabaya:Al-
Hidayah, t.th), Hlm. 14
13 Al-Ghazali, Loc-Cit.
kepadamu. Dari uraian di atas
menimbulkan
beberapa
adab
yang
sejalan dengan uraian
tersebut yang
telah
disebutkan dalam karangan Beliau dalam kitab Bidayatul
Bidayah
yaitu
:
Jangan
bertanya jika belum minta izin lebih dahulu.14
“Bertanyalah kepada
ahli
ilmu
jika
kamu
tidak
tahu.”
(Q.S.
An-
Nahl:ayat 43)15
Izin seorang pelajar
terhadap gurunya
dalam
bertanya sesuatu sangat
penting
karena
di
mana seorang guru jelas
lebih
tahu letak penyampaian ilmu yang harus
diselesaikan lebih jelasnya menjaga kesopanan. Bertanya tentang
soal
yang
belum
sampai tingkatanmu
memahaminya,
adalah
dicela,
karena itulah, maka khaidir melarang Musa bertanya.
Sebagai mana ungkapan al-Ghazali sebagai berikut:
Tinggalkan bertanya
sebelum waktunya ! guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu
ilmu
harus
diajarkan
kepadamu.
Sebelum waktu
itu
datang
dalm
tingkatan
mana pun juga, maka
belumlah datang waktunya untuk bertanya.16
Hal di atas jelaslah bahwa seorang pelajar harus sopan dan
tidak boleh melontarkan
pertanyaan atau perkataan
yang
belum
minta
izin terhadap gurunya atau tiba-tiba
berbicara dan bertanya.
Dari itu tinggalkanlah bertanya sebelum waktunya, guru lebih tahu tentang
keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktunya untuk
bertanya.
Hal
ini
14 Al-Ghazali, Syaih
Muhammad
Nawawi, Syarah
Bidayah
Al-Hidayah,
(Semarang : Al- Alawiyah,t.th), hlm 88
15 R. A. H.Soenarjo, Al-Qur’an
dan
Terjamahannya,
(Semarang
:
PT.
Kumudasmoro
Grafinda, 1994),
hlm.
408
16 Ihya ‘Ulumuddin,
Op-Cit, Hlm. 51
sebagaimana diungkapkan nahi mungkar
kepada
Nabi
Musa
As
dalam surat
Al-Kahf;ayat 70
“Jika
engkau
mengikuti
aku
maka
janganlah
bertanya
tentang
sesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kepadamu nanti.”( QS.Al-Kahfi : 70 )17
"Seharusnya seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya,
mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhitmat kepadanya"
.18
Seorang pelajar hendaknya mendengarkan keterangan gurunya, mengharapkan pahala
dari guru yakni mengharapkan
keridha’an guru dengan
tidak
banyak bertanya sewaktu
guru kelihatan bosan atau kurang baik.19
Karena kondisi
guru kurang enak lebih mempengaruhi cara bicara dan penyampaian seorang
guru sehingga percakapan antara keduanya harus melihat kondisi keduanya tersebut seperti ungkapan Hasyim.
“Seorang pelajar
supaya sabar atas keras hati (kemarahan) yang keluar dari guru/jelek budi pekertinya dan jangan
mencengah
keluar kemarahan tersebut”.
Sebagaimana perkataan
Ali R.A. : “Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan engkau banyak
bertanya!
jangan
engkau
paksakan dia menjawab, jangan engkau minta,
bila dia malas.”20
17 Soenarjo, Op-Cit, hlm. 454
18 Al-Ghazali, Loc-Cit.
19 Bidayah,Op-Cit, Hlm. 89
20 Al-Ghazali, Loc-Cit.
Kemarahan
seorang
atau
rasa
kurang
enak
kondisi
guru
tersebut
kelihatan
dari
cara
bicara
dan
paras
wajahnya,
maka kondisi seperti itu seorang pelajar harus dapat memahami diri dari bertanya, memberikan solusi apabila lagi mencengah
dan melarang guru untuk tidak marah. Seorang guru dimanapun tetap akan ingat tugas
guru
diatas
mempunyai
tujuan
untuk
menghargai dan menghormati dengan diharapkan mendapat ilmu pengetahuan yang bermanfaat, karena
seorang
guru
mepunyai tugas menyampaikan
ilmu.
6. Jika Berkunjung Kepada guru harus menghormati dan
menyampaikan
salam terlebih dahulu.21
Menghormati guru merupakan
salah
satu
sifat
terpuji
bahwa kewajiban
seorang
pelajar terhadap guru untuk
mencari
kerelaan gurunya dalam memberi
ilmunya, seperti dalam kitab
adabul’alimi wal muta’alim.
22
“Pelajar hendaknya
duduk
didepan
guru
dengan
sopan
(adab)
seperti pelajar memenuhi (meliputi
dan
merapatkan)
pada
kedua
lututnya atau pelajar duduk seperti
duduk takhiyat”.
7. Jangan berbicara jika tidak diajak
bicara oleh guru.23
Hubungan antara murid dengan guru dalam proses pendidikan yang berlangsung
ini
memang
harus terjalin dengan baik, tetapi
ada batas-batasannya untuk
menjaga kesopanan murid
terhadap ilmu, dan gurunya.
21Al-Ghazali, Syaih
Muhammad
Nawawi,
Syarah
Bidayah
Al-Hidayah,
(Semarang : Al- Alawiyah,t.th), Hlm. 88
22 Syeih Hasyim As’ary, Adabul ‘alimi Wal Muta’alim, (Jombang : Malitabah Turots alislam,
1415),Hlm.34
23 Bidayah, Op-Cit
“dan ketika guru berfikir
sesuatu maka pelajar
tidak boleh bicara, yaitu seperti aku berbicara
atau
seperti ini berpikir
bagiku atau seperti fulan
berkata”.
Berbicara di tengah-tengah waktu
guru
berbicara atau berpikir sesuatu itu merupakan tindakan
yang kurang tepat, karena
akan menghilangkan konsentrasi
berpikir guru.
8. Jangan sekali-kali su’dhan terhadap guru mengenai tindakan
yang kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid, sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakannya.25
Dalam
belajar
murid tidak boleh su’dhan guru mengenai tindakan yang kelihatan
munkar, su’dhan ini akan
mengkibatkan ilmu yang akan
diterima
tidak
sampai,
sebab
su’dhan
merupakan
penyakit hati, maka
dari
itu
murid tidak boleh su’udhan
terhadap gurunya, karena tidak tahu rahasia
dibalik itu, seperti
yang terjadi dengan Nabi
Musa
terhadap
Nabi
Khidir,
yang
telah
membunuh
anak kecil.
Oleh
karena
itu
salah satu seoran sufi melukiskan kewajiban murid terhadap gurunya
dalam sajak sebagai berikut:
Engkau laksana
mayat terlentang Didepan gurumu terletak membentang Dicuci dibalik laksana
batang Janganlah engkau berani menentang Perintahnya jangan engkau elakkan
Meskipun haram seakan-akan
Tunduk dan taat diperntahkan
Engkau pasti ia cintakan
24Hasyim As’ari,
Op-Cit, Hlm. 37
25 Bidayah, Op-Cit
Biar semua
perbuatannya
Meskipunbrlaianan
dengan syara’nya Kebenaran nanti akan nyatanya Bagimu akan jelas putus asa
Pada akhirnya ia terasa
Pada akhirnya
jelaslah sudah Tampak padanya secara mudah Kekuasaan Allah tidak tertadah
Ilmunya luas tidak termudah.26
9. Seorang
pelajar
hendahnya
bersabar dalam menghadapi pelajaran
dan konsekuen pada guru.
Sabar
merupakan kunci dari keberhasilan
mencapai cita- cita, maka murid hendak bersabar menghadapi pelajaran yang
dihadapinya, janganlah kamu sibuk dengan ilmu yang lain sebelum kamu dapat menguasai dengan baik ilmu yang pertama tadi. 27 Hal
ini tercermin pada firman Allah dalam surat kahfi ayat 67-68, yang
mengisahkan Nabi
Musa
yang
tidak
bersabar
menghadapi Nabi
Khaidir.
“Engkau (musa)
tak
sanggup bersabar sertaku,
bagaimana
eangkau bersabar
dalam
persoalan
yang
belum
berpengalaman
didalamnya”.( QS. Alkahfi : 67-68)28
Tetapi Nabi
Musa
tidak
sabar untuk menunggu
atau
menghadapi pengalamannya bersama Nabi Khaidir,
selalu
ia
bertanya
sampai Nabi Khaidir berkata:
26 H.Abu Bakar
Ajheh, Pengantar
Sejarah Sufi dan
Tasawuf, (Solo
:
Ramadhani,
1984), Hlm. 309
27 Ahmad
Sjalaby, Sejarah Pendidikan Islamt, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), Hlm. 313
28 soenarjo, Op-Cit.
“Jika engkau
mengikuti
aku
maka
janganlah
bertanya
tentang
sesuatu, sehingga aku
sendiri
yang akan
menceritakan kamu nanti” ( Q.S. Al-Kahfi : 70)29
Sikap Nabi Musa tersebut mengakibatkan keduanya terpisah. Sikap
yang
tidak
sabar menghadapi
syaihnya
(gurunya),
selalu bertanya apa yang diperbuat
oleh Nabi Khaidir.
Pola hubungan guru murid guru di atas masih
cukup
relevan
untuk diaplikasikan dalam kegiatan belajar-mengajar dimasa sekarang, karena hubungan tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas
guru dan murid, juga dapat mendorong
terciptanya akhlak yang mulia dikalangan pelajar khususnya, dan
pendidikan lain pada umumnya.
Para ahli pendidikan Islam masa kini juga telah sepakat bahwa:
maksud dari pengajaran
dan
pendidikan bukanlah belum mengetahui
tetapi maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa
fadhillah (keutamaan), mempersiapkan mereka
untuk sesuatu kehidupan yang suci seluruhnya
ikhlas dan jujur. 30
Jika hubungan
antara anak dan orang tua, murid dan gurunya,
tidak
terjadi
atau
jarang,
maka
kemungkinan besar pengajaran
dan
tujuan pendidikan tidak akan
berhasil.
Dengan
inilah
para
orang
tua
dan pendidik harus memperhatikan dengan seksama sarana-sarana dan cara
yang positif agar ia mencintai
anak-anak dan anak-anak mencintai
mereka, saling membantu dan berkasih sayang sesamanya.
Dan apabila adab murid tersebut
ada
dalam
diri
murid maka
dia akan
mencapai apa yang dicita-citakan,
tetapi apabila
dalam hatinya tidak ada, maka ia tidak akan berhasil meskipun
kelihatannya
berhasil, hal ini dapat dilihat pada tingkah lakunya sehari-hari.
29 Soenarjo, Op-Cit.
30 M.Athiyah al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam, Alih Bahasa Bustami A.Gani
dan Djohar Bahri (Jakrta : Bulan Bintang , 1993), Cet I,
Hlm.
1
C. Relevansinya Adab Murid
Terhadap Guru Dengan Pembentukan
Kepribadian Muslim
Adab atau
akhlak
merupakan suatu keadaan
jiwa yang menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikirkan
atau
dipertimbangkan
secara mendalam, keadaan ini ada dua macam, yaitu pertama;
alamiah dan bertolak
dari
watak
dan
yang
kedua
adalah tercipta melalui
kebiasaan dan latihan, pada
mulanya keadaan
ini
terjadi
karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian
melalui praktek terus menerus menjadi
karakter.31
Murid adalah
makhluk yang
sedang
berada
dalam
proses perkembangan dan pertumbuhan
menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan
dan
pengarahan
yang
konsentrasi
menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.32 Karena menuntut
ilmu adalah ibadah,
maka murid
hendaknya
dapat
mendekatkan diri kepada Allah
dengan
membersihkan kotoran-kotoran jiwa
dan
hiasi
dengan akhlak yang terpuji,
lebih
utama murid
itu
dalam
menuntut
ilmu dengan
seorang
syaih,
dan
syaih
tersebut
hendaknya
dihormati dan ditaati segala perintahnya
atau
nasehatnya
sebagaimana
seorang
yang sedang sakit mentaati perintah atau nasehat
seorang
dokter.33
Hendaknya murid
juga
memperhatikan tugas dan tanggung jawanya terhadap gurunya, yakni dalam berhubungan dengan gurunya hendaknya ada sopan santunnya, karena
hal ini merupakan salah satu
syarat yang hendak dimiliki oleh murid dalam menuntut
ilmu dan
Hlm. 56
31 Abu Ali Ahmad Al-Miskawaih,
Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994),
32 Abudin Nata,
Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Logos,
1990), Cet
I,
Hlm. 79
33 Al-Ghzali, Mizanul ‘Amal, (Tuban
: Majlis Al-Mu’allifin walkhathathin,
t.th), Hlm.104
diaplikasikan dalam
kehidupannya sehari-hari baik
dalam
kelas
maupun diluar
kelas.
Hal ini dapat dilihat murid yang memiliki adab terhadap guru
berbeda dengan murid yang tidak memilikinya.
Murid yang memiliki adab,
tingkah laku keseharian cenderung mengarah
pada syari’at atau norma-norma sosial, misalnya murid yang hormat dan sabar mendengarkan penjelasan guru,
dalam
jiwa
murid akan tumbuh
dan
tertanam sikap hormat
kepada
orang
tuanya
dan
sabar
menghadapi segala persoalan yang dihadapinya, dan sikap penuh perhatian dalam
mendengarkan nasehat orang
tua,
berbeda
dengan
murid yang tidak memiliki
adab terhadap guru. Sikapnya cenderung menyimpang dari pada ajaran-ajaran syari’at misalnya murid yang tidak bersikap
rendah hati (tawaduk) terhadap gurunya
dan
ilmunya, maka sikapnya cenderung sombong terhadapa siapa saja yang ada dihadapannya.
Adab murid
terhadap gurunya
ini
salah
satu
faktor
dari keberhasilan pendidikan disamping masih
ada
faktor
lain
yang mendukung
keberhasilan
pendidikan.
Dan
adab
murid terhadap guru ini telah dijelaskan
di atas.
Dengan adanya kerja sama antara murid dan guru, maka tujuan dari pendidikan ini
akan
tercapai,
di
mana murid mendapatkan
ilmu pengetahuan dan guru dapat mengamalkan
ilmu pengetahuannya.
Dan tujuan dari pendidikan
adalah
membentuk,
menciptakan manusia yang berkepribadian muslim. Kepribadian adalah suatu keadaan jiwa yang dapat
merealisasikan
tingkah
laku
yang
sesuai
dengan aturan-aturan syara’.
Dan untuk membentuk suatu kepribadian muslim pada anak
ini
tidaklah
mudah
seperti
membalikkan
tangan,
tetapi harus melalui
beberapa tahap dan metode.
Dan
juga
harus
memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, faktor
yang
mempengaruhi ini ada dua yaitu bawaan (keluarga) dan
lingkungan,
dan yang paling
utama dan dapat mempengaruhi
kehidupan
anak
dimasa dewasanya nanti adalah
faktor bawaan (keluarga). Dan
tidak
kalah pentingnya yang
mempengaruhi kepribadian muslim anak adalah faktor lingkungan seperti
hubungannya terhadap gurunya,
dan terhadap sesama murid di dalam kelas atau sekolah. Untuk membentuk
kepribadian muslim anak ini dapat menggunakan metode
pembiasaan.
Jika anak yang masih
suci
ini bagaikan
batu permata yang masih polos, belum diukur
dan
belum
dibentuk.
Karena
itu,
dengan
mudah saja
ia
menerima segala bentuk
rekayasa yang
ditujukan kepadanya, dan memiliki kecenderungan
yang dibiasakan kepadanya.
Jika baik,
ia
akan
tumbuh dewasa dalam keadaan
yang
baik
dan
bahagia, dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. 34
Pada taraf
pembiasaan
anak
diharapkan mengkondisikan dengan ketentuan-ketentuan agama, dan norma-norma sosial,
sebagai contoh murid yang memberi salam kepada gurunya dan temannya jika
bertemu di tengah jalan, dari pembiasaan tersebut akan memberi suatu
pendidikan rasa persaudaraan terhadap sesamanya.
Tujuan utama
dari
pembiasaan
adalah
penanaman kecakapan berbuat dan
mengucapkan sesuatu, agar
cara-cara
yang
tepat
dapat
dikuasai oleh siterdidik. Pembiasaan ini sebagai
dasar
dalam
upaya
stabilitasi kepribadian yang harus
bersifat
konstan
dan
kontinu
tidak
boleh terjadinya pemberhentian karena akan menyebabkan instabilitas
terhadap kepribadian yang luhur, Musthufa Al-Ghulaiyani
34 Al-Ghazali , Mengobati Penyakit hati : Membentuk Akhlak Mulia, Penejr. Muhammad Al-
Baqir (Bandung : Karisma, 2001),Cet.
IX, Hlm. 103
“Jika kamu biasakan
akhlak
mulia
yang
mengangkat keadaannya
mereka (anak-anak) akan memperoleh ilmu yang
bermanfaat
bagi
tanah airnya”
Dengan demikian
hubungan
antara
adab
murid terhadap guru menunjukkan tonggak-tonggak perkembangan yang benar-benar
mempunyai keterkaitan (link) dan peran dalam pembentukan
kepribadian Muslim. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Murid yang selalu sabar dan tabah
dalam
menghadapi
semua pelajara, maka dalam jiwa murid tersebut akan tertanam jiwa yang sabar dan
tabah
dalam
menghadapi segala
persolannya yang dihadapinya.
2. Murid
yang hormat dan taat pada perintah
dan nasehat guru, dalam
jiwanya akan tertanam rasa hormat kepada orang tua
dan
orang
yang lebih tua darinya.
3. Murid
yang
tidak
banyak
bertanya dan berbicara ketika guru
sedang menerangkan
atau
menjelaskan
pelajaran,
dalam
jiwanya
pun akan tertanam tidak banyak bicara hal-hal
yang tidak berguna, dan apabila tidak diajak bicara dia tidak asal jawab.
4.
Murid
tidak su’dhan terhadap
perbuatan guru, dalam jiwanya akn tertanam tidak berburuk sangka pada perbuatan orang lain.
35 Musthofa Al-Ghulaiyani, ‘Idhoun Nasy’in,
Maktabah al-Inayah,
1953), Hlm.188
5. Murid yang selalu memberi salam kepada gurunya ketika
ia
bertemu dijalan, maka dalam
jiwa
anak
akan
tumbuh rasa persaudaraan, dan selalu memberi salam terlebih dahulu apabila ia masuk
rumah.
6. Murid yang
tidak
sombong
terhadap
guru
dan
ilmunya, dalam jiwa murid akan tumbuh sikap
rendah hati pada orang lain.
IV. KESIMPULAN
1. Adab haruslah dimiliki setiap individu demi jalinan
hubungan
sosialnya berjalan dengan baik. Begitu juga dalam proses pendidikan.
Seorang murid hendaklah memikili
adab terhadap guru, maupun
temannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh al-Ghazali, seorang murid menuntut ilmu hendaknya
melalui seorang
syeh (guru), dan supaya
ilmu
pengetahuan yang
akan
didapat, melekat dalm
hati hendaklah murid itu membersihkan hatinya
dan memuliakan
gurunya baik dalam proses
pendidikan maupun diluar proses
pendidikan.
2.
Anak lahir di
dunia
dalam
keadaan
lemah tak
berdaya
namun
demikian ia telah membawa fitrah (potensi). Maka anak memerlukan
pendidikan yang dapat membantu mengembangkan potensi yang ada
dalam dirinya sesuai dengan
potensi
dalam
jiwanya.
Inti
pendidikan
adalah supaya
anak
memiliki kepribadian muslim yang sejati
dan melekat
dalam
hati
kemudian
diaplikasikan dalam kesehariannya. Untuk itu anak
memerlukan bimbingan yang benar dan tepat. Dan setiap pribadi ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor bawaan dan
faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini akan memberi pengaruh pada
pembentukan kepribadian muslim anak, seperti dalam lingkungan
sekolah (tingkah laku anak terhadap gurunya maupun temannya). Dari
sinilah dapat dilihat
bahwa tingkah laku anak
pada gurunya maupun
temannya
ini
mempunyai peranan
tersendiri dalam
pembentukan
kepribadian muslima anak.
V. PENUTUP
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah
ini.
Penulis
sadar
sepenuhnya tulisan
ini
masih jauh
dari kesempurnaan, untuk itu
kritik
dan saran
yang
bersifat membangun
sangatlah penulis harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali ,
Mengobati Penyakit hati
:
Membentuk Akhlak
Mulia,
Penejr.
Muhammad Al-Baqir (Bandung :
Karisma, 2001),Cet. IX
--------------, Ihya Ulumuddin I, (Indonesia : Toha Putra, t.th)
--------------, Syaih
Muhammad
Nawawi,
Syarah
Bidayah
Al-Hidayah,
(Semarang :
Al-Alawiyah,t.th)
-------------, Mizanul ‘Amal, (Tuban:
Majlis Al-Mu’allifin walkhathathin, t.th)
Al-Ghulaiyani, Musthofa, ‘Idhoun
Nasy’in, Maktabah al-Inayah, 1953)
Al-Miskawaih,Abu Ali
Ahmad, Menuju Kesempurnaan Akhlak,
(Bandung
:
Mizan,
1994)
As’ary, Hasyim, Syeih,
Adabul ‘alimi Wal Muta’alim, (Jombang : Malitabah Turots
alislam, 1415)
Az-Zarnuji, Syaih, Penj: Noor Anfa Shiddiq,Terjemah Ta’limMuta’lim, (Surabaya:Al-Hidayah, t.th)
Ajheh, H.Abu Bakar, Pengantar Sejarah
Sufi
dan
Tasawuf, (Solo : Ramadhani,
1984)
al-Abrasy, M.Athiyah,
Dasar-dasar
Pokok
pendidikan
Islam,
Alih
Bahasa
Bustami
A.Gani
dan Djohar Bahri (Jakrta : Bulan Bintang , 1993), Cet I Brugacher, John, Modern
philosiphis of education, (New Delni : Td)
Darazat, Zakiyah, Ilmu Jiwa agama, (Jakarta
: P.T. Bulan Bintang, 1996), Cet XII
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Semarang
: Balai Pustaka, 1990), Cet III
Fakultas Tarbiyah IAIN
Wali Songo, “Jurnal Ilmu Pendidikan dan Islam”,
Media
(Semarang: Edisi 29/ Agustus/Th VII/ 1998)
Fikri, Ali, Adabu Fataat, (Bairut
Libanan : Darul kutub, t.th)
Imam Abi Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Syuabul iamn Juz II, (Beirut Libanon
; Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990)
---------------, Peersepektif Islam
Tentang
pola
Hubungan Guru-
Murid
(Studi
Pemikiran
Tasawuf Al-Ghazali), (Jakarta
; Grafindo Persada, 2001) Sjalabi,
Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1973).
Thomas, Frey, Sir Gord, A Modern Philosophy of Education, (London : 1957) Yunus, Muhammad, Kamus
Arab Indonesia, (Jakarta : Haida Karya Agung, 1990)
0 komentar:
Post a Comment