MENU BLOG

Saturday, 27 September 2014

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi


1. PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGANNYA
A. Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam
Menurut Herman H. Horne sebagaimana dikutip pendapatnya oleh Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitarnya, dengan manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak.
Sedangkan pendidikan Islam lebih diarahkan kepada keseimbangan dan keserasian hidup manusia. Sebagaimana pendapat al-Syaibany yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitar melalui proses pendidikan. Perubahan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai Islam. Secara konseptual rumusan pengertian dan tujuan pendidikan di atas begitu ideal, dalam tataran praktis dan realitas pendidikan Islam masih banyak dihadapkan pada problematika serius yang memerlukan pemecahan untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut.
B. Tantangan dan Problematika Pendidikan Islam
1. Sistem Pendekatan dan Orientasi
Di tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan sosial, pendekatan pendidikan Islam yang memandang bahwa kebenaran Islam yang mutlak pasti mampu mengalahkan kebatilan yang merajalela di luar kehidupan Islam dengan dasar dalil: (jika telah datang perkara yang hak, maka hancurlah perkara yang batil) perlu dilakukan modifikasi/perubahan menjadi pendekatan yang berdasarkan atas pandangan yang realistis bahwa Islam sebagai suatu kebenaran baru mampu berkembang dengan sepenuhnya dalam masyarakat bila para pendukungnya berusaha keras dan tepat sasaran melalui sistem dan metode yang efektif dan efisien.
Pendidikan Islam masa kini dihadapkan kepada tantangan yang semakin berat. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealitas umat manusia yang serba multi-interest yang berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi kompleks pula. kejiwaannya, maka semakin tidak mudah jiwa manusia itu diberi nafas agama. Secara riil pendidikan Islam masih menemukan kesulitan memenuhi tuntutan seperti itu. Orientasi pendidikan Islam seringkali masih kepada kehidupan ukhrawi. Ini mestinya dirubah menjadi duniawi-ukhrawi secara bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program pembelajarannya harus diproyeksikan ke masa depan dari pada masa kini atau masa lampau. Meskipun masa lampau dan kini tetap dijadikan khasanah kekayaan empiris yang amat berharga bagi batu loncatan ke masa depan, sehingga nostalgia ke masa keemasan dunia Islam masa lampau (abad 7 s.d 14) tidak perlu lagi mengobsesi pemikiran kita. Lebih-lebih dalam menghadapi pergeseran nilai-nilai kultural yang transisional dari dunia kehidupan yang belum menemukan pemukiman yang mapan, maka pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengan tuntutan zaman.
2. Pelembagaan proses kependidikan Islam.
Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya memerlukan model dan sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid (learner’s potential orientation) yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Oleh karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan Islam memandang bahwa seluruh proses kependidikan Islam dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang berorientasi kepada perbuatan yang nyata (action-oriented system) berdasarkan atas pendekatan sistemik.
Dalam operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf rising demand masyarakat.
Di samping itu pergeseran idealitas masyarakat yang menuju ke arah pola pikir rasional-teknologis yang cenderung melepaskan diri dari tradisionalisme kultural-edukatif makin membengkak.
Inilah sebagai pencerminan kemelut yang terjadi di dalam masyarakat. Namun demikian permasalahannya lembaga pendidikan Islam pada khususnya harus bangkit kesadarannya bahwa lembaga pendidikan Islam kita yang masih bersikap konservatif dan statis dalam menyerap tendensi dan aspirasi masyarakat transisional seperti masa kini, perlu memacu diri untuk melakukan inovasi dalam wawasan, strategi dan program-programnya sedemikian rupa sehingga mampu menjawab secara aktual dan fungsional terhadap tantangan baru. Apalagi bila diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam lubuk hati tiap pribadi manusia melalui bidang-bidang kehidupan manusia, maka pendekatan sistemik yang bersifat missionair di mana faktor humanisasi menjadi sentral strategi, perlu lebih diprioritaskan dalam perencanaan.
3. Pengaruh sains dan teknologi canggih
Sebagaimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari kemajuan teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan) kehidupan manusia yang hidup sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin mengemelut. Teknologi menawarkan berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin beragam, memasuki ruang-ruang dan celah-celah kehidupan kita sampai yang remang-remang dan bahkan yang gelap. Dampak-dampak negatif dari teknologi modern telah mulai menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental-spiritual atau jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayanya. Tidak hanya nafsu mutmainnah yang dapat diperlemah oleh rangsangan negatif dari teknologi elektronis dan informatika melainkan juga fungsi-fungsi kejiwaan lainnya seperti kecerdasan fikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologis-elektronis dan informatika seperti komputer, fotokopi jarak jauh (faximile), video cassett recorder (VCR) dan komoditi celluloid (film, video, disc), dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik kita tidak perlu lagi belajar bahasa asing atau ketrampilan tangan dan berfikir ilmiah taraf tinggi karena alat-alat teknologis telah mampu menggantikannya dengan komputer penerjemah semua bahasa asing, robot-robot telah siap mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan tangan dan mesin otak (komputer generasi baru) yang mampu berfikir lebih cepat dari otak manusia sendiri, lalu bagaimana tentang proses menginternalisasikan dan menstransformasikan nilai-nilai iman dan takwa ke dalam lubuk hati manusia. Sampai saat ini kita belum mendengar adanya teknologi transformasi nilai-nilai spiritual itu. Bukan tidak mungkin selepas abad 20 nanti mesin itu akan diciptakan manusia.
2. KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN
A. Pengertian Kehidupan Modern dan Modernitas
Secara etimologis kata modern diartikan of the present or recent times, new; up to date, artinya modern berarti sekarang, saat ini atau baru. Makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Atas dasar inilah manusia dikatakan modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya.
Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern” yaitu pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan.
Dalam masyarakat barat, modernisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lahirnya modernisasi atau pembaharuan di suatu tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Pembaharuan ini biasanya dipergunakan sebagai proses untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Menurut Nurcholis Madjid, modernisasi diartikan sebagai rasionalisasi bukan westernisasi yaitu proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Jadi modernitas adalah rasionalitas.
B. Kecenderungan dan Ciri Dunia Modern
1. Kecenderungan Dunia Modern
Ada beberapa pandangan mengenai corak kehidupan di masa modern sekarang ini. Pertama, menurut Daniel Bell, kehidupan di masa sekarang dan mendatang akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (fragmentasi) dalam kehidupan politik. Dua kecenderungan ini sudah menjadi kenyataan di berbagai kawasan dunia ini.
Integrasi ekonomi telah terjadi di Eropa dalam bentuk European Union (EU), di Amerika Utara dalam bentuk NAFTA (North American Free Trade Area), di Asia dan Pasifik dalam bentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), dan Asia Tenggara dalam bentuk AFTA (Asean Free Trade Area). Dalam pada itu fragmentasi politik terjadi di mana-mana: di bekas negara Yugoslavia, di bekas wilayah Uni Soviet, di berbagai negara di Afrika. Fragmentasi di berbagai kawasan ini terjadi karena berbagai alasan. Kekuatan yang paling potensial untuk menimbulkan fragmentasi ini ialah etnisitas dan agama.
Corak kedua, ialah bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang. Salah satu arti “globalisasi” ialah bahwa masalah-masalah tertentu seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah HAM-untuk menyebut beberapa contoh-dipandang sebagai persoalan-persoalan yang bersifat global dan menyangkut nasib seluruh umat manusia. Di dalam zaman globalisasi ini, tidak ada satu negara pun yang dapat bersembunyi dari sorotan dunia dan menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan global yang terdapat di seluruh dunia.

Globalisasi adalah suatu proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramatis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan yang pesat dalam teknologi, terutama teknologi komunikasi dan bertambahnya arus modal secara bebas. Globalisasi akan menjadikan berbagai bidang sebagai komoditas dan komersil, termasuk pendidikan. Globalisasi juga akan menciptakan kompetisi terbuka di segala bidang. Persoalannya adalah bagaimana meningkatkan daya saing kita agar tetap kompetitif.
Corak ketiga yang banyak pula dikemukakan orang ialah bahwa kemajuan sains dan teknologi yang terus melaju dengan cepatnya ini akan merubah secara radikal situasi dalam pasar tenaga kerja. Kemajuan teknologi menyebabkan pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak diperlukan lagi, dan timbullah pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut kecakapan baru. Muncullah tuntutan untuk mampu menyesuaikan diri dengan teknologi baru. Akibat dari situasi semacam inilah maka “pendidikan ulang” (reeducation) atau “pelatihan ulang” (retraining) menjadi suatu keharusan untuk mempertahankan produktifitas dan untuk mengurangi pengangguran.
Kecenderungan keempat yang banyak disebut-sebut oleh para ahli ialah bahwa proses industrialisasi dalam ekonomi dunia menuju pada penggunaan teknologi tingkat tinggi. Alat-alat produksi dengan teknologi rendah akan “dieksport” dari negara-negara maju ke negara-negara yang ekonominya masih terbelakang. Negara-negara maju akan memusatkan kegiatan ekonomi mereka pada usaha-usaha yang menghasilkan nilai tambah yang cukup tinggi.

2. Ciri-ciri Masyarakat Modern
Menurut Ginanjar Kartasasmita, masyarakat modern selain memiliki ciri utama derajat rasionalitas yang tinggi, juga memiliki ciri-ciri lain yang berlaku umum yaitu :
a. Tindakan-tindakan sosial
Dalam masyarakat tradisional, tindakan-tindakan sosial (social action) lebih bersandar pada kebiasaan atau tradisi. Dalam masyarakat modern, tindakan-tindakan sosial akan lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu, salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihan-pilihan dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri.

b. Orientasi terhadap perubahan
Dalam masyarakat pramodern, perubahan berjalan lambat. Dalam masyarakat praagraris perubahan bahkan hampir tidak terjadi selama ribuan tahun. Makin maju masyarakat makin cepat perubahannya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti sering dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Perubahan ini merupakan ciri tetapi sekaligus masalah yang senantiasa dihadapi masyarakat modern, karena frekuensinya yang makin cepat, sehingga acapkali tidak bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.
3. PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENYIKAPI KEHIDUPAN DUNIA MODERN

A. Sikap kita terhadap modernitas
Modernitas sering dicurigai dan bahkan dimusuhi oleh kaum agamawan tradisional. Modernitas tidaklah identik dengan paham materialisme. Modernitas adalah kemajuan jaman sebagai berkah dari ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan materialisme adalah paham yang menganggap bahwa hanya materi yang eksis dan yang non-materi hanyalah ilusi para penganut agama (believers). Modernitas, meski dapat menumbuhkan paham materialisme, tidaklah bertentangan dengan paham keagamaan. Islam pada fitrahnya adalah agama yang universal sehingga dianggap mampu untuk mengikuti perkembangan jaman semodern apapun. Islam tidak menganggap haram materi ataupun kekayaan meskipun menolak paham materialisme yang beranggapan bahwa materilah yang paling penting dan menolak segala hal yang berbau spiritual, termasuk keberadaan Tuhan. Sebaliknya, Islam menyodorkan keseimbangan dalam memandang kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dan Tuhanlah asal segala sesuatu.
Dengan demikian mesti dipahami bahwa modernitas sebagai konsekuensi dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah ‘musuh’ dari paham ketuhanan ataupun agama yang perlu kita tentang atau jauhi. Perlu diakui bahwa beberapa aspek kehidupan gemerlap dari Barat, tidaklah semuanya buruk dan ‘sesat'. Tidak ada yang salah jika generasi muda menggunakan celana jeans, makan ‘fast food’ (lepas dari masalah kesehatannya), dan mendengarkan musik pop sepanjang mereka tetap berpegang teguh pada dasar-dasar keimanan tentang Allah dan perintah-perintahNya. Jika seorang remaja memiliki kesadaran dan pemahaman tentang aturan-aturan agama yang dianutnya maka ia akan lebih percaya diri dan mampu menghadapi kehidupan modern tanpa harus tercebur dan terseret oleh eksesnya yang berwujud paham materialisme. Seorang remaja yang agamis perlu memahami dan terbuka terhadap kesempatan dan tawaran dari dunia modern tapi tetap sadar akan pentingnya memegang integritas dan standar moral dari keyakinan agama yang dimilikinya.
Problema yang dihadapi manusia modern, menghendaki visi dan orientasi pendidikan yang tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah. Yaitu suatu upaya yang mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak kedalam ikatan tauhid, yaitu suatu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran manusia itu harus dilihat sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan harus diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya manusia yang ikhlas.

B. Strategi Pembelajaran
ecara moral berbagai persoalan yang timbul sebagai akibat dari kemajuan, merupakan tanggung jawab kalangan dunia pendidikan, untuk mencari akar pemecahannya melalui strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. Secara sosiologis ada beberapa strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengatasi permasalahan tersebut di atas di antaranya kalangan dunia pendidikan perlu merumuskan visinya yang jelas terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Dunia pendidikan seharusnya melihat strategi belajar mengajar sebagai upaya yang bertujuan membantu para lulusan agar dapat melakukan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka ibadah kepada Allah.
Jika visi tentang lulusan lembaga pendidikan tersebut disepakati, maka konsekuensinya perlu dirumuskan kembali mengenai konsep kurikulum yang lebih berorientasi pada konstruksi sosial, yaitu kurikulum yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan sosial. Kurikulum semacam ini sifatnya dinamis, karena apa yang dirancang akan disesuaikan dengan tuntutan perubahan sosial. Tahap selanjutnya adalah mengembangkan paradigma pembelajaran student centered, sehingga siswa terlatih untuk bersikap kreatif, mandiri dan produktif. Sikap yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat yang maju. Kondisi semacam ini akan menciptakan masyarakat belajar (learning society).

C. Keterpaduan antara ilmu agama dan umum.
Keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu umum dan keterpaduan antara disiplin ilmu umum dan ilmu agama perlu dilakukan, tanpa mengorbankan spesialisasi yang menjadi ciri masyarakat modern. Dalam hal ini spesialisasi harus dilakukan dalam hubungannya dengan pembidangan yang secara teknis memang harus dilakukan mengingat tidak mungkin di masa sekarang ini setiap orang dapat menguasai keahlian dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Namun spesialisasi itu harus ditempatkan dalam kerangka saling berhubungan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Pemikiran keterpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama ini pada tahap selanjutnya membawa kepada timbulnya konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang menjadi bahan diskusi yang sampai saat ini belum selesai.

D. Penerapan Akhlak tasawuf
Kehidupan modern yang materialistik dan hedonistik dengan segala akibatnya yang saat ini mulai melanda kalangan dunia pendidikan perlu diimbangi dengan penerapan akhlak tasawuf. Adanya pemalsuan ijazah oleh oknum kepala sekolah, diterimanya siswa yang NEMnya rendah dengan sarat ada uang pelicin, pemberian beban biasa kepada siswa yang tidak dibarengi dengan oeningkatan mutu pendidikan dan sebagainya adalah merupakan akibat arus globalisasi yang telah melanda dunia pendidikan. Jika dunia pendidikan saja sudah demikian keadaannya, maka lembaga mana lagi yang dapat dijadikan tempat menaruh harapan masa depan bangsa.
Keadaan dunia pendidikan seperti demikian itu, diperparah dengan beredarnya obat-obat terlarang di sekolah-sekolah. Berbagai tindakan yang paling aman dan gangpang bagi sekolah adalah mengeluarakan siswa yang jelas-jelas terlibat dalam penyalahgunaan obat-obat terlarang itu. Perlu dipikirkan cara lain agar tidak mengorbankan pihak manapun.
Alternatif lain yang perlu dikembangkan dalam mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan mengamalkan ajaran akhlak tasawuf. Ajaran akhlak tasawuf perlu disuntikkan ke seluruh bidang studi yang diajarkan sekolah. Menurut Jalaludin Rakhmat, sekarang ini di seluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah didirikan “lembaga pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal adalah the institute of society, ethic and life. Kini telah disadari bahwa sulit bagi ilmuwan eksperimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata sains tidak boleh dibiarkan lepas dari etika kalau tidak ingin senjata makan tuan.


PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kehidupan dunia modern yang membawa pada era globalisasi, ternyata telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, mulai dari materi, guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan dan pola hubungan antara guru dan murid perlu ditata ulang untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hal ini perlu dilakukan, jika dunia pendidikan ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia. Dunia pendidikan di masa sekarang benar-benar dihadapkan pada tantangan yang berat yang penanganannya memerlukan keterlibatan berbagai pihak yang terkait.
Demikian makalah ini kami susun dengan segala keterbatasan yang ada. Untuk itu saran, masukan dan kritik yang membangun kami nantikan demi perbaikan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Syaibany, Omar Moh. Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000).
______________, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Harminto , HM., , Napza Pembunuh Berdarah dingin, dalam
http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/25/x_nas.html
Hidayat, Komarudin, Upaya pembebasan Manusia Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Nasr, dalam Dawam Rahardjo, (ed), Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut Islam, (Jakarta: Grafiti Press, 1987).
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987)
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1995)
________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997).
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997).

Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991)
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003).

Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24.

Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman, dalam http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198

Shihab, Quraysh, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
Soyomukti, Nurani, Pendidikan Berspektif Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
Surya, H. Mohamad, Bunga Rampai Guru dan Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004).
Wijaya, Cece, et.al., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992).

0 komentar: