Dalam ilmu kalam,al-Ghazali ingin mempertegas
teori teologi dalam sekte Sunni. Ia berusaha menjustifikasi eksistensi
Tuhan,sifat-sifat-Nya,perbuatan-Nya dan legalitas seorang rasul. Beliau
berusaha menjempati antara pemikiran mu’tazilah yang menghendaki sepenuhnya
kepada akal dan khawarij yang menghendaki tekstualitas ilmu kalam. Menurutnya
mu’tazilah dan filosof terlalu berlebihan dalam memberikan porsi kepada akal.
Mereka berani melakukan pengingkaran dalam batasan-batasan yang telah
disepakati dalam agama. Pada realitasnya pun mereka sering melakukan kesalahan
ataupun kecerobohan,artinya mereka pada akhirnya tidak mampu memfungsikan akal
secara benar
Pada penerapan selanjutnya,al-Ghazali
lebih menyikapi mu’tazilah daripada khawarij. Al-ghazali sangat fokus pada
metodologi pemikiran mu’tazilah dan berusaha mematahkan pemikirannya yang
sangat mendewakan akal daripada naql. Menurut beliau akal sangat lemah dan
tidak pernah netral. Akal bersifat subjektif tergantung siapa yang mau
menginterpretasikannya. Baginya akal membutuhkan wahyu untuk mengetahui
batasan-batasan benar dan salah.
Menurut hemat kami,akal memang sangat
membutuhkan wahyu karena akal tidak akan mampu apa-apa yang ada dibalik
kemampuannya,karena akal sangat terbatas kemampuannya.akal tidak akan mampu
mengetahui keberadaan tuhan dan segala sifat-sifatnya tanpa bantuan wahyu dari
Allah SWT sebagaimana apa yang dikatakan al-Ghazali.
Di samping itu al-Ghazali juga oposisi
dengan teori wajib seperti apa yang dikatakan mu’tazilah dan filosof. Bagi para
filosof dan mu’tazilah Tuhan menciptakan sesuatu merupakan suatu keniscayaan
yang harus ada pada Tuhan. Artinya tuhan wajib menciptakan sesuatu ataupun
apa-apa yang dikehendakinya seperti mengutus seorang rasul,menciptakan
manusia,alam dan segala isinya merupakan wajib bagi tuhan. Bagi al-Ghazali
jelas ini sangat bertentangan dengan kaum sunni yang tidak berani mewajibkan
sesuatu kepada Tuhan. Tuhan bebas melakukan sesuatu apa yang
dikehendakinya,baginya semua hanya bersifat ja’iz tergantung apa yang
dikehendakinya karena Tuhan juga mempunya sifat ja’iz menurut al-Ghazali.
Berkat kemampuannya dan kepintarannya,imam
al-Ghazali menemukan bahwasanya ada 20 kesalahan yang dibangun oleh para
filosof dalam pemikirannya. Pemikiran ini dipandangnya batil atau tidak benar
karena lemahnya alasan yang diberikannya. Dari ke dua puluh yang dianggap salah
oleh imam al-Ghazali ada tiga pemikiran yang dianggap kufur olehnya karena
sudah menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits. Pemikiran
tersebut yaitu:
Pertama; dalam masalah qodim-nya alam.
Menurut imam al-Ghazali,mustahil jika alam dianggap qodim(tidak pernah
tidak ada). Menurutnya qodim-nya alam ini akan membawa pemahaman bahwa alam itu ada
dengan sendirinya,tidak diciptakan oleh Tuhan. Jika demikian halnya,sudah jelas
ini sangat bertentangan dengan Ahlussunah wal Jama’ah dan yang terdapat dalam
al-Qur’an dan Hadits. al-Qur’an cukup jelas menerangkan bahwasanya Tuhanlah
yang menciptakan segenap alam dan isinya termasuk manusia.
Sebaliknya para filosof muslim yang
berpaham bahwa alam itu qodim,seperti al-Farabi dan Ibn Sina,paham bahwa alam ini
qodim tidak sedikitpun tidak di pahami mereka dengan pengertian bahwa alam ada
dengan sendirinya. Menurutnya mustahil Tuhan itu ada sendiri sebelum mencipta
pada awalnya,kemudian baru menciptakan alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan
tidak mencipta,dan setelah itu menciptakan alam,bagi mereka hal ini menunjukkan
perubahan pada entitas Tuhan. Tuhan menurut mereka tidak berubah dari awalnya
tidak mencipta,kemudian menciptakan.
Menurut al-Ghazali asumsi para
filosof itu sangat bertentangan dengan agama. Alam adalah
hadits(baru).diciptakan dari ketiadaan. Melalui kehendaknya,Tuhan telah
menentukan penciptaan ini pada masa yang telah ditentukan.entitas Tuhan tidak
mengalami perubahan akibat penciptaan alam ini. Semuanya telah ditentukan
sebelum penciptaan ini terealisasikan. Tuhan juga tidak mengalami perubahan
yang dikarenakan adanya entitas baru yang diciptakannya yaitu alam.
Kedua: Tentang paham
bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat(hal-hal yang
juz’i,individual/partikular). Para filosof dikafirkan karena pengingkaran
mereka terhadap kemampuan Tuhan dalam mengetahui hal-hal yang juz’i. Menurut
mereka pengetahuan Tuhan hanyalah bersifat universal,sebab-sebab partikular
selalu mengalami perubahan yang mengakibatkan perubahan pada pengetahuan. Jika
pengetahuan berubah,entitas yang mengetahui itupun juga akan mengalami
perubahan,semisal dari tidak mengetahui menjadi tahu. Dengan demikian untuk
menghindari perubahan pada Tuhan,maka Tuhan harus mengetahui secara
universal.,artinya serentak dalam satu cakupan sekaligus
al-Ghazali tidak sependapat dengan hal
itu. al-Ghazali mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan pada sebab-sebab partikular
tidak membawa perubahan pada entitasnya. Pengetahuan tersebut bagaikan
pengetahuan kita akan perpindahan sesuatu di kiri kita menuju arah kanan kita.
Kita mengetahui hal itu sebelum terjaidi perpindahan,dan disaat perpindahan itu
terjadi,maka pengetahuan kita pada perpindahan tersebut tidak mengalami perubahan
pada entitas kita. Perubahan hanya terjadi pada entitas yang melakukan
perpindahan,bukan pada entitas yang mengetahuinya. Apabila contoh ini dapat
diterima maka pengetahuan Tuhan terhadap sebab-sebab partikular itu tidak
mengalami perubahan pada entitas-Nya. Perubahan hanya terjadi pada sebab-sebab
partikular saja dan tidak pada entitas yang mengetahui-Nya yaitu Allah SWT.
Lagipula kalaupun perubahan ilmu bisa
menimbulkan sesuatu perubahan pada dzat yang mengetahui,sebagaimana yang
dipegang oleh para filosof,maka apakah mereka akan mengatakan bahwa
berbilangnya ilmu juga ilmu juga menimbulkan bilangan pada dzat Tuhan? Sebab
objek ilmu itu banyak,seperti manusia,hewan,tumbuh-tumbuhan. Dan juga para
filosof mengatakan bahwa alam ini qodim dan mengakui adanya
perubahan-perubahan,yang berarti mereka mengakui adanya perubahan yang qodim.
Akan tetapi mengapa mereka tidak membolehkan perubahan pada dzat Tuhan,yang
qodim pula?.
Sebenarnya paham bahwa Tuhan tidak
mengetahui hal-hal yang bersifat partikular ini bukanlah paham yang dianut oleh
para filosof muslim. Paham demikian dianut oleh Aristoteles,bukan oleh para
filosof muslim. Inilah yang dikatakan oleh Prof.Dr. Abdul Aziz Dahlan dalam
bukunya yang berjudul pemikiran falsafi dalam islam. Kendati
demikian,al-Ghazali tetap berupaya menampilkan pandangan dari beberapa filosof
seperti Ibn Sina dalam pandangan ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Ketiga: Pengingkaran
kebangkitan jasad. Jasad menurut mereka adalah entitas yang tersusun dari
berbagai macam unsur. Ketersusu mengurai dan hancur,maka ketetapan da keabadian
hanya terdapat pada jiwa manusia,sebab jiwa adalah entitas sederhana yang tidak
tersusun dari berbagai macam unsur. Hanya entitas sederhanalah yang mampu
menerima keabadian,bukan entitas tersusun,artinya hanya jiwalah yang menerima
siksa atau pahala di alam kubur
Pandangan diatas menurut al-Ghazali
sangat bertentangan dengan dalil agama. Ayat-ayat Allah telah memaparkan dengan
pasti akan adanya kebangkitan jasad di akhirat. Siksa dan pahala akan dirasakan
oleh jiwa dan jasad bersama-sama. Bagi Tuhan membangkitkan jasad bukan hal yang
mustahil. Tuhan adalah maha yang berkehendak mutlak dan maha kuasa. Hal ini
tidaklah sesulit menciptakan jasad dari ketiadaan.
Menurutnya membantah akal dan filsafat
adalah berarti mengukuhkan wahyu nabi,dan untuk selanjutnya mengarah pada
justifikasi terhadap mu’jizatnya. Akal harus tunduk terhadap
informasi-informasi Nabi,dimana kebenarannya dikukuhkan oleh keberadaannya
wahyu Nabi yang diberkan Tuhan.
Menurut al-Ghazali gambaran al-Qur’an
dan Hadits tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani
saja,tapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad-jasad dibangkitkan dan
disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia ini untuk
merasakan nikmat surgawi yang bersifat jasmani-rohani serta untuk merasakan
azab neraka yang juga bersifat rohani dan jasmani. Bagi al-Ghazali kehidupan di
surga dan neraka yang bersifat rohani dan jasmani itu,bukanlah sesuatu yang
mustahil,dan oleh karena itu gambaran dalam al-Qur’an dan Hadits itu harus
dipahami secara harfi/hakiki dan tidak boleh ditakwilkan secara
majazi/metafora. Pemahaman bahwa kehidupan disurga dan neraka itu bersifat
rohani saja,menurutnya itu adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan
jasad pada hari kiamat dan pemahaman demikian bertentangan dengan al-Qur’an dan
Hadits,dan oleh karena itu dikufurkannya
Menurut para filosof-filosof dari segi
pikiran,alam akhirat adalah alam kerohanian,bukan alam material(alam
kebendaan),karena alam kerohania itu lebih tinggi nilainya. Karena itu menurut
mereka,pikiran tidak mengharuskan adanya kebangkitan jasmani,kelezatan atau
siksaan jasmani,surga atau neraka dan segala isinya. Kesemuanya ini memang
disebutka dalam al-Qur’an tetapi degan maksud untuk memudahkan pemahama
terhadap alam kerohanian bagi orang-orang biasa. Keunggulan alam kerohanian
sebenarnya juga berlaku dalam dunia ini,yang didasarkan pada kekuatan
berfikir,dan kelezatan mendapatkan objel-objek pikiran. Tetapi hal ini tidak
bisa dicapai,disebabkan karena kesibukan-kesibukan benda,dan baru dicapai di
akhirat nanti dimana kesibukan tadi itu tidak lagi menjadi penghalangnya.
D. ANALISIS
Al-Ghazali adalah tokoh terkemuka dalam
kancah filsafat dan tasawwuf. Namanya sudah tidak asing lagi di dengar karena
kemashuran beliau dan kecerdasan beliau dalam mengkritisi para filosof yang
lain. Sebenarnya al-Ghazali tidak sepenuhnya mengharamkan filsafat,selama
filsafat itu tidak bertentangan dengan akidah dan al-Qur’an serta
As-sunnah,maka sah-sah saja menurut beliau. Pemikiran para filosof sebagian
juga tidak bertentangan dengan akidah menurutnya seperti halnya gerhana bulan
dan matahari,tidak ada kekeliruan dari mereka.
Sebenarnya menurut hemat kami,perbedaan
yang terjadi antar filosof terutama al-Ghazali dan para filosof yang lain ini
terletak pada pemposisian akal,bagaimana sensitifitas dari beberapa filosof
dalam mengkaji filsafat dan cara menempatkannya serta cara pandang yang
digunakannya. Bagi al-Ghazali akal hanya sebagai alat untuk melogikan ayat-ayat
yang terdapat al-Qur’an,tidak lebih dari itu. Akal harus tunduk dan harus
dibawah naungan al-Qur’an dan Hadits sehingga tidak menyeleweng dari ajarannya.
E. KESIMPULAN
1. Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu
Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali,beliau hidup pada tahun 450 H di sebuah
kota yang ada di Irak yaitu kota Tus dan wafat pada tahun 478 H.
2. Karya-karya yang dikarangnya kurang
lebih seratus buku/kitab yang dikarangnya dari beberapa cabang ilmu
pengetahuan,dan yang paling terkenal kitabnya adalah Ihya’ Ulumuddin.
3. Bermaksud untuk menunjukkan
kekeliruan para filosof,al-Ghazali mengarang kitab Tahafudz
al-Falashifah,yang
mengindikasikan ketidak-koherensian para filosof dengan yang sebenarnya dan
untuk mematahkan pemahaman mereka yang terlalu mengidolakan filsafat,namun
tidak menyalahkan secara total.
4. Dari beberapa pemikiran para filosof
yang dianggap salah/bid’ah,tiga diantaranya mengantarkan mereka pada
kekufuran,yaitu pertama masalah qodim-Nya alam,kedua tentang konsep bahwa Tuhan
tidak mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i(individual/partikular),dan yang
ketiga adalah konsep kebangkitan jasad di akhirat.
5. Menurut al-Ghazali membantah akal
sama halnya dengan mengokohkan Hadits Nabi dan menjustifikasinya. Akal
menurutnya harus tunduk dan patuh di bawah garis al-Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad, Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996.
Anshori, Subkhan,Filsafat Islam
Antara Ilmu dan Kepentingan, Jawa Timur: Azhar, 2001.
Aziz Dahlan, Abdul, Pemikiran
Falsafi dalam Islam,Jakarta: Unipres Djambatan, 2003.
0 komentar:
Post a Comment