BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara akademis, pendidik adalah tenaga
kependidikan, yakni anggota masyarakat mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualifikasi sebagai pendidik,
dosen, konselor, pamong belajar, dan lain-lain.
Sedangkan secara istilah, pendidik adalah
orang-orang yang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik
dengan dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik
potensi afektif, kognitif, maupun psikomotor sesuai dengan ajaran islam.
Al-Ghazali menggunakan istilah pendidik dengan
berbagai kata seperti, al-Muallimin(guru), al-Mudarris(pengajar),
al-Muaddib(pendidik), dan al-Wallid(orang tua).menurut al-ghazali pekerjaan
mengajar adalah kegiatan yang paling dibutuhkan dan paling sempurna peranannya,
karena seorang guru menyempurnakan dan menyucikan hati manusia, yang paling
utama seorang guru harus membimbing anak didiknya agar beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT. Menurut al-Ghazali seorang pendidik harus memiliki sikap yang sabar
dalam menerima masalah-masalah yang ditanyakan siswa, bersifat kasih dan tidak
pilih kasih, menanamkan sifat yang bersahabat di dalam hatinya terhadap semua
murid-muridnya, adanya minat dan perhatian terhadap proses belajar mengajar
serta membimbing dan mendidik murid dengan sebaik-baiknya.
Al-Ghazali berpendapat kewajiban mengajar
untuk orang yang berilmu pengetahuan yang mampu hanya semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah serta mempreroleh pahala dari-Nya. Tetapi bukan
semata-mata untuk mendapatkan gaji(upah). Al-Qobisi memberikan kesimpulan bahwa
seorang guru boleh menerima gaji(upah). Sedangkan al-Ghazali berpendapat lain
kalau dia mengharamkan gajiguru, karena gaji yang tercela (diharamkan) sebagai
yang dikecam al-Ghazali itu adalah apabila Al-Quran (ilmu-ilmu yang lain )
dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan
satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan
mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.
B. Rumusan Maslah
1. Bagaimana Sosok Guru Profesional yang Ideal
Menurut al-Ghazali?
2. Apa Saja Kriteria Guru menurut Al-Ghazali?
3. Apa Saja Persyaratan kepribadian pendidik
menurut Al – Ghazali?
4. Bagaimana Profesi pendidik (pengajar, guru)
menurut Al-Ghazali?
5. Bagaimana Teknik mengajar dan adab sopan
santun seorang guru menurut Al-Ghazali?
6. Apa Saja Sifat-sifat yang harus dmiliki
seorang guru menurut Al-Ghazali?
7. Apa Saja Tugas dan kewajiban pendidik menurut
Al-Ghazali?
8. Bagaimana Gaji pengajar (guru) menurut
Al-Ghazali?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Sosok Guru Profesional yang
Ideal Menurut al-Ghazali.
2. Untuk Mengetahui Kriteria Guru menurut
Al-Ghazali.
3. Untuk Mengetahui Persyaratan kepribadian
pendidik menurut Al – Ghazali.
4. Untuk Mengetahui Profesi pendidik (pengajar,
guru) menurut Al-Ghazali.
5. Untuk Mengetahui Teknik mengajar dan adab
sopan santun seorang guru menurut Al-Ghazali.
6. Untuk Mengetahui Sifat-sifat yang harus
dmiliki seorang guru menurut Al-Ghazali.
7. Untuk Mengetahui Tugas dan kewajiban pendidik
menurut Al-Ghazali.
8. Untuk Mengetahui Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini
adalah agar penulis dan pembaca lebih memahami akan Sosok guru profesional
yang ideal menurut Al-Ghazali, Kriteria guru menurut Al-Ghazali, Persyaratan
Kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali, Profesi pendidik (pengajar, guru)
menurut Al-Ghazali, Teknik mengajar dan adab sopan santun seorang guru menurut
Al-Ghazali, Sifat-sifat yang harus dmiliki seorang guru menurut Al-Ghazali,
Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali, Gaji pengajar (guru) menurut
Al-Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sosok Guru Profesional yang Ideal Menurut
al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, guru dalam pengertian
akademik ialah seseorang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain atau
seseorang yang menyertai sesuatu institusi untuk menyampaikan ilmu pengatahuan
kepada pelajarnya. Selain itu al-Ghazali mengartikan mendefinisikan guru
sebagai seorang yang menyampaikan suatu baik, positif, kreatif atau membina
kepada seseorang yang berkemauan tanpa umur walaupun terpaksa melalui pelbagai
cara dan strategi dengan tanpa mengharapkan ganjaran (gaji). Al-Ghazali
menjelaskan bahwasannya sosok guru professional yang ideal yaitu sebagai
berikut :
1. Guru professional yang ideal yaitu guru yang
mempunyai akal cerdas, mempunyai akhlak yang sempurna, dan mempunyai fisik yang
kuat. Guru harus mempunyai sifat ini karena dengan akal yang cerdas maka guru
akan mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam. Dengan akhlak yang sempurna maka
guru akan menjadi teladan yang baik terhadap peserta didiknya. Dan dengan
mempunyai fisik yang kuat maka seorang guru akan dapat membimbing peserta
didiknya dengan baik.
2. Guru yang mempunyai tanggung jawab besar dalam
mengajar, membimbing, dan mengarahkan peserta didiknya untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Dan membantu peserta didiknya menghadapi kehidupan di dunia dan
akhirat.
3. Guru yang dapat memahami perbedaan kejiwaan
anak dan kemampuan intelektual anak. Guru harus memiliki kemampan ini karena
peserta didik mempunyai perbedaan kemampuan intelektual setiap umurnya. Selain
itu guru juga harus dapat memberikan materi kepada muridnya dengan cara
sistematis. Jadi, murid harus memahami dahulu pelajaran sekarang baru
melanjutkan pelajaran yang selanjutnya.
4. Guru harus mempunyai rasa kasih sayang
terhadap muridnya ketika proses belajar mengajar tidak boleh menggunakan
cacian, makian, dan kekerasan lainnya, belas kasihan dan kasih sayang sangat
dibutuhkan dalam mendidik guru pun harus menganggap seperti anaknya sendiri.
5. Kewajiban menyampaikan ilmu pengetahuan
merupakan kewajiban agama Islam, jadi guru pun harus mempunyai sifat ikhlas
dalam menyampaikan ilmu pengetahuannya dan tidak boleh mengharapkan upah dari
orang lain.
6. Seorang guru professional ideal hendaknya guru
yang bisa memahami perbedaan potensi pada setiap peserta didiknya, dan menerima
kekurangan potensi peserta didik. Dengan memperlakukan sesuai dengan potensi
peserta didiknya.
7. Seorang guru yang baik menurut al-Ghazali
yaitu guru yang tidak hanya memahami tingkat kecerdasan anak akan tetapi juga
guru yang dapat memahami tabi‟at, bakat, dan juga kejiwaan muridnya. Guru
harus bisa memperlakukan muridnya menurut kemampuannya.Al-Ghazali benar-benar
memperhatikan professional guru dalam mendidik anak. Guru harus professional
terhadap semua sisi pendidikan anak.
B. Kriteria Guru menurut Al-Ghazali
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik
ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”. Pendidik tidak sama
dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran
kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar
apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran
yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab
menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk
kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam
Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru.
Menjelaskan kriteria guru yang baik dari kitab Ihyaa Ulumuddin yang merupakan
karya monumental Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat
diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya,
juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia
dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya
yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan
kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan
anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki
guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki
sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut
Pertama, Jika praktek mengajar merupakan keahlian dan profesi dari
seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih
sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya
diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada
gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu
yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi
setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas
jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang
mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat
bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta
dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada
muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina
mental dan jiwa. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah
SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu
tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa
memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang
mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung
pengajaran harus diberi dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya
harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan
kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang
memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi
juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan
murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang
lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh
membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan
pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT,. Dan bukan untuk
mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan. Seorang guru
tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan
sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan
cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan
sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau
menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat
menyebabkan anak murid yang memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang
dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi
yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran yang baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil
sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam
hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian
orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan
keahliannnya atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru
ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang
tidak baik.
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip
mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan
memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam
hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar
sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak
memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal
itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali
adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan
muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan
tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya
seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu
menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan
rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang
berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk
merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan
agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebaliknya jika hal itu dilakukan akan
menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran
penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan
kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan
atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana
dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan
tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara
sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu
dikuasai, memahami tingkat perbedaan usia, kejiwaan dan kemampuan intelektual
siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi
pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan
tuntutan masyarakat modern.
C. Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al –
Ghazali
Dalam “Ihya Ulumuddin”, Al – Ghazali
melukiskan betapa penting kepribadian bagi seorang pendidik : “Seorang guru
mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena
sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat
dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih
banyak.”
Statement Al – Ghazali tersebut dapat disimak
bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian sesesorang pendidik
adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena
kepribadian seorang pendidik akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya,
baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Jadi Al – Ghazali sangat menganjurkan agar seorang pendidik mampu
menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan
pengetahuan yang diberikan pada anak didiknya. Oleh Al – Ghazali diibaratkan
bagai tongkat dengan bayang – bayangannya. Bagaimanakah bayang – bayang akan
lurus, apabila tongkatnya saja bengkok.
Kemudian Al – Ghazali mengemukakan syarat –
syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut:
1. Sabar menerima masalah – masalah yang
ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2. Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih
kasih.
3. Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya atau pamer.
4. Tidak takabbur, kecuali terhadap orang yang
zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya.
5. Bersikap tawadu’ dalam pertemuan – pertemuan.
6. Sikap dan pembicaraannya tidak main – main.
7. Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid –
muridnya.
8. Menyantuni serta tidak membentak – bentak
orang – orang bodoh.
9. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh
dengan cara yang sebaik – baiknya.
10. Berani berkata: saya tidak
tahu, terhadap masalah yang tidak di mengerti.
11. Menampilkan hujjah
yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’ kepada
kebenaran.
Dari pernyataan di atas, dapat dikemukakan
bahwa persyaratan bagi seorang pendidik meliputi berbagai aspek, yaitu:
1. Tabiat dan prilaku pendidik.
2. Minat dan perhatian terhadap proses belajar –
mengajar.
3. Kecakapan dan keterampilan mengajar.
4. Sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran
Di samping itu, Al – Ghazali menganjurkan
kepada para pendidik agar meningkatkan dan membina kepribadiannya dengan cara
mendidik dirinya sendiri: “Dan ia (pendidik) berhati – hati pula
mendidik dirinya sendiri dengan membiasakan sedikit makan sedikit berkata –
kata dan sedikit tidur serta membanyakkan sembahyang (shalat, berdoa), sedekah
dan puasa. Lagi pula dalam kehidupannya mengikuti seorang ahli itu,
dijadikannya segala akhlak yang utama, sebagai sabar, syukur, tawakkal, yakni
tak keluh kesah (rela dengan apa yang ada), berhati tenang, berlapang dada,
rendah hati, tahu diri, berlaku benar, menepati janji, menjadikan pakaian
hidupnya.”
D. Profesi pendidik (pengajar, guru) menurut Al-Ghazali
1. Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah. Dalam kitab “Ihya
‘Ulumuddin” ia mengatakan : “apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam
segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu, maka
mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu. Jadi, mengajar dan
mendidikadalah sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu
dimuliakan dan dihormati oleh orang lain. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri
adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan. Jika seorang
pendidik dan anak didiknya mampu saling menghormati dan saling menghargai diantara
mereka maka maka ilmu yang diberikan pendidik akan mudah merasuk kedalam otak
anak didiknya. Dan nantinya anak didik akan menjadi manusia yang terhormat dan
sekaligus dihormati. Disinilah letak kemuliaan seorang pengajar yang
diungkapkan oleh al-Ghazali.
2. Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan
umum.
Al-Ghazali dalam “Mizanul ‘Amal”
mengatakan :
a. mencari faedah dan guna ilmu,
b. mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia
tidak bertanya-tanya,
c. memberikan wawasan ilmu dan pengajarannya, dan
inilah keadaan yang termulia baginya.
Dengan demikian pendapat al-Ghazali , sesuai
dengan pandangan para sarjana pendidikan di Indonesia, antara lain Dr. Sutari
Imam Barnadib mengatakan : “Mendidik adalah suatu tugas yang luhur. Seseorang yang
mempunyai tugas sebagai pendidik harus mempunyai kesenangan bekerja sama dengan
orang lain atau untuk dengan kata lain harus mempunyai sifat-sifat social yang
besar. Drs. Ali Saifuddin H.A mengatakan : “Pekerjaan guru adalah pekerjaan
yang paling mulia, sesuai dengan filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi
nilai-nilai sikap pengabdian, yaitu memberikan pelayanan pada masyarakat dan
kemanusiaan.
3. Alasan yang berhubungan dengan unsur yang
dikerjakan.
Al-Ghazali menyebutkan :
“Seorang guru adalah berurusan langsung denga hati dan jiwa
manusia, dan wujud yang paling mulia dimuka bumi ini adalah jenis manusia.
Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar)tubuh manusia adalah hatinya,
sedangkan adalah guru bekerja menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, dan
membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT”
Jadi kesimpulannya, seorang guru adalah orang
yang menempati status yang mulia di dartan bumi, ia meniddik jiwa, hati, akal
dan roh manusia. Sedangkan jiwa manusia adalah unsure yang paling mulia pada
bagian tubuh manusia dan manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia ini
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Analisis yang deduktif dan induktif yang
dikemkakan al-Ghazali tersebut adalah sangat benar dan tepat sekali, karena ia
juga mendalami filsafat dan menguasai logika secara cermat dan akurat.
E. Teknik mengajar dan adab sopan santun seorang guru menurut
Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah salah satu orang sangat
menyetujui tentang pentingnya aspek keagamaan dalam pendidikan, tapi tidak
mengabaikan aspek amaliah meskipun belau tidak terlalu memusatkan perhatiannya
pada aspek ini. Ia mengkehendaki agar pendidikan dilandasi dengan agama dan
akhlak. Itulah sebabnya beliau memandang bahwa tekhnik mengajar merupakan pekerjaan
yang paling utama yang harus diikuti setiap orang. Pandangandemikian didasarkan
atas dalil naqli dan ‘aqli.
F. Sifat-sifat yang harus dmiliki seorang guru menurut
Al-Ghazali
Al-Ghazali menguraikan sejumlah sifat-sifat
guru yang mencerminkan tugas yang harus dilaksanakan oleh mereka yaitu mendidik
akal dan pikiran, jiwa dan roh, yaitu :
1. Hendaknya guru mencintai muridnya bagaikan
anaknya sendiri, dengan ucapan : “Orang tua adalah menjadi sebab wujudnya
kehadiran anaknya dan kehidupan itu adalah bersifat fana, dan guru menjadi
sebab kehidupan yang abadi”. Pengarahan kasih sayang kepada murid mengandung
makna dan tujuan perbaikan hubungan pergaulan dengan anak-anak didiknya, dan
mendorong mereka untuk mencintai pelajaran, guru, dan sekolah dengan tanpa
berlaku kasar terhadap mereka. Dengan dasar ini maka hubungan pergaulan antara
guru dan murid menjadi baik dan intim yang didasari atas rasa kasih sayang dan
cinta serta kehalusan budi.
2. Guru jangan mencari bayaran dari pekerjaan
mengajarkan demi mengikuti jejak Rasulullah s.a.w dengan alasan bahwa pekerjaan
mengajar itu lebih tinggi harganya dari pada harta benda, cukuplah kiranya guru
mendapatkan kebaikan (fathilah) dan pengakuan tentang kemampuannya menunjukkan
orang kepada jalan kebenaran dan hak, kebaikan dan ilmu pengetahuan, dan yang
lebih utama lagi ialah guru dengan menunjukkan jalan yang hak kepada orang
lain. Sebenarnya al-Ghazali meyakini prinsip kewajiban mengajar untuk orang
yang berilmu pengetahuan yang mampu, semata-mata karena Allah dan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga pahalanya besar sekali.
3. Guru hendaknya menasehati muridnya agar
jangan mencari ilmu untuk kemegahan atau mencari penghidupan, akan tetapi
menuntut ilmu demi untuk ilmu dan hal ini merupakan dorongan ideal yang perlu
diikuti. Sebenarnya al-Ghazali mengarahkan ilmu ketingkat yang tinggi
untuk dipelajari karena ilmu dapat mengembangkan ilmu lainnya dan dapat
diperdalam pembahasannya.
4. Guru wajib memberi nasihat
murud-muridnya agar menuntut ilmu yang bermanfaat tersebut (menurut beliau)
ialah ilmu yang dapat membawa kepada kebahagiaan hidup akhirat, yaitu ilmu
agama.
5. Seorang guru idola (taladan) yang baik
dan contoh yang utama yang harus ditiru oleh anak-anak (mereka menyerap kebiasaan
yang baik yang dikembangkan oleh seorang guru idola). Mereka senang mencontoh
sifat-sifat dan meniru segala tindak-tanduk guru yang diidolakan. Oleh sebab
itu seorang guru wajib berjiwa lembut yang penuh dengan tasammuh (lapang dada)
penuh keutamaan, dan terpuji. Sebaiknya guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu yang
tidak ia ajarkan, misalnya mengajar ilmu fiqih dengan mengacaukan dengan
pengajaran lughah (bahasa), atau sebaliknya mengajarkan lughah dicampur-baurkan
dengan fiqih. Jika hal itu dikerjakan , maka ia berbuat tercela, tidak sesuai
dengan tugasnya yang terhormat.
6. Memperhatikan bakat-kemampuan murid tingkat
perkembangan akal dan pertumbuhan jasmaniahnya. Al-Ghazali menganjurkan agar
supaya guru memperhatikan tahap-tahap peningkatan kemampuan anak dalam
mempelajari ilmu dari satu jenjang ke jenjang lain yang lebih tinggi.
7. Harus memperhatikan perbedaan-perbedaan
individual anak (murid). Pandangan al-Ghazali, agar guru memahami tentang
prinsip-prinsip tentang perbedaan individual di kalangan anak didik serta
tahapan perkembangan akal pikirannya, sehingga dengan pemahaman itu, guru dapat
mengerjakan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuan mereka, serta senantiasa
sejalan dengan tingkat kemampuan berpikir tiap anak didiknya. Dengan mengenal
perbedaan-perbedaan individual maka guru dapat membantu memperbaiki pandangan
pendidikan dan pengajaran keterampilan.
8. Guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya, agar
ucapannya tidak mendustai perbuatannya. Al-Ghazali menegaskan kepada kita bahwa
berpegang pada prinsip-prinsip dan berusaha merealisasikan prinsip tersebut
merupakan watak seorang guru yang diidolakan (teladan), karena ucapan-ucapan
yang sesuai dengan prilakunya. Jika ia berpaling dari prinsip, dan tidak sesuai
antara ucapan dengan perbuatan maka menjadi sasaran penghinaan atau menjadi
sumber kerendahan, yang menyebabkan ia tidak mampu memimpin mereka dan menjadi
lemahnya daya bimbingan dan pandangannya. Al-Ghazali menghendaki agar guru
menjadi contoh teladan yang baik bagi murid-muridnya. Jika kita amati kenyataan
masa kini bahwa sistem pendidikan tidak akan mengalami kerusakan
disekolah-sekolah kita, kecuali jika para guru tidak melakukan apa yang mereka
katakan, sehingga murid-muridnya tidak mendapatkan seseorang guru pun di antara
mereka tokoh teladan dan ikutan baik yang diteladani sebagai idola mereka.
G. Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan
kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya : “Ihya “Ulumuddin”
dan “Mizan Al Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan
kewajibannya.
“ Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti
Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya ‘alim (berilmu, intelektualen). Tetapi
tidak pulalah tiap-tiap orang yang ‘alim itu layak menempati kedudukan sebagai
ganti Rasulullah SAW,itu”. Kemudian Al-Ghazali berpendapat : “ seorang guru
hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas
jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud
mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya”. Jadi,
seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah karena
mendekatkan diri kepada Allah semata-mata.
2. Memberikan kasih sayang terhadap anak didik.
Al-Ghazali mengatakan : “Memberikan kasih sayang kepada
murid-murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri”. Dengan demikian
seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak
didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya.
Jadi, hubungan psikologis antara kedua orang tua dengan anaknya, seperti
hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan
timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses
pendidikan dan pengajaran.
3. Menjadi teladan terhadap anak didik .
Al-Ghazali mengatakan : “seorang guru itu harus mengamalkan
ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya
ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat
dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepal adalah lebih banyak”.
Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya
suri teladan terhadap anak didik, mempunyai relevansi dengan teori-teori
pendidikan modern indonesia.
4. Menghormati kode etik guru
Al-Ghazali mengatakan : “ seorang guru yang memegang salah satu
vak mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek-jelekan mata pelajaran
lainnyadihadapan muridnya”. Gagasan al-Ghazali itu relevan dengan apa yang
dilaksanakan pada dunia pendidikan (indonesia) dewasa ini yaitu penyelenggaraan
MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) di perguruan tinggi khususnya., yang diberikan
pada setiap mahasiswa dari jurusan dan program pendidikan apapun yang arahnya
adalah adanya saling mengargai dan menghormati antar disiplin ilmu
profesi. Pandangan al-Ghazali tersebut dalam dunia pendidikan
sekarang dikembangkan menjadi kode etik pendidikan dalam arti yang luas,
misalnya hubungan guru dengan soal-soal kenegaraan, dan hubungan guru dengan
jabatan.
H. Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Qabisi bahwa seorang guru boleh
menerima gaji (upah). Sedangkan menurut al-Ghazali : “ Al-Quran diajarkan
karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru) yang mengajarkannya. Ini
adalah alasan agama yang menuntut para guru menunaikan tugas dan kewajibannya
(bekerja) di jalan Allah”.Sesungguhnya, kesimpulan Al Ghazali dalam hal
mengharamkan gaji guru dapat dipahami secara tersirat, yaitu gaji yang tercela
(diharamkan) sebagai yang dikecam al ghazali itu adalah apabila Al Qur’an
(ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk
kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru) hanya untuk
mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.Dalam sebuah
hadist Rasul saw bersabda : “ yang paling pantas kamu terima gaji karena ada
kitab Allah (Al Qur’an). Tetapi rasul saw pada kesempatan lain juga bersabda :
“ Bacalah Al Qur’an, jangan kamu cari makan dengan itu, jangan kamu
mendegar-dengarnya”.
KESIMPULAN
Menurut al-Ghazali, guru dalam pengertian
akademik ialah seseorang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain atau
seseorang yang menyertai sesuatu institusi untuk menyampaikan ilmu pengatahuan
kepada pelajarnya. Selain itu al-Ghazali mengartikan mendefinisikan guru
sebagai seorang yang menyampaikan suatu baik, positif, kreatif atau membina
kepada seseorang yang berkemauan tanpa umur walaupun terpaksa melalui pelbagai
cara dan strategi dengan tanpa mengharapkan ganjaran (gaji).
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik
ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”. Pendidik tidak sama
dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran
kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar
apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran
yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab
menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk
kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.
Al-Ghazali adalah salah satu orang sangat
menyetujui tentang pentingnya aspek keagamaan dalam pendidikan, tapi tidak
mengabaikan aspek amaliah meskipun belau tidak terlalu memusatkan
perhatiannyapada aspek ini. Ia mengkehendaki agar pendidikan dilandasi dengan
agama dan akhlak. Itulah sebabnya beliau memandang bahwa tekhnik mengajar
merupakan pekerjaan yang paling utama yang harus diikuti setiap orang.
Pandangandemikian didasarkan atas dalil naqli dan ‘aqli.
0 komentar:
Post a Comment