MENU BLOG

Saturday, 27 September 2014

Biografi Imam Ghazali Ath-Thusy

A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).[1] Nama Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.[2]
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
Ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik.
Ayahnya menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.

Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam.[3]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.[4]
B. Karya-karya Imam Al Ghazali
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil adanya penyelewengan.[5]
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof. Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:[6]
Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah filsafat.
Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan keras.
Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
Misykat Al Anwâr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
Ayyuhâ Al Walad (wahai anak).
Al Mustasyfa (yang terpilih).
Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
Mizan Al ‘Amal (timbangan amal).

C. Filsafat Imam Al Ghazali
1. Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali memandang metafisika (ketuhanan) dengan memberi reaksi keras terhadap Neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para filosof, karena mereka tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neoplatonisme muslim (Al Farabi dan Ibn Sina) serta secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut Al Ghazali, dalam Tahâfut Al Falâsifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Pandangan Al Ghazali tentang filsafat ketuhanan terdiri dari tiga masalah pokok, yaitu:
a. Masalah Wujud
Al Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari, dalam menetapkan wujud Tuhan. Beliau menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua bentuk, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat Al Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur, manusia akan sampai pada pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadîm, sedangkan wujud makhluk adalah hadîts (baru). Wujud hadîts menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan digerakkan. Sedangkan jika wujud Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya. Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat Tuhan dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia memikirkan dzat Allah SWT. Dari itu, beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak akan sampai mencapai dzat itu. Cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat af’âlnya saja. Sedangkan dalam membahas sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung mengikuti para mutakallimîn dari madzhab Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat dzat yang diistilahkan dengan sifat salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah ini ada lima, yaitu: Qidâm (tidak berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al Hawâdits (berlainan dengan yang baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini menafikan kesempurnaan makhluk dan menetapkan kesempurnaan Allah SWT. Selain sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni (sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT. dan tidak dapat dipisahkan dari dzatnya. Sifat ma’âni ada tujuh yaitu: Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha Berkehendak), ‘Ilmu (Maha Mengetahui), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), Kalam (Maha Berbicara) dan Hayat (Maha Hidup).
c. Masalah Af’al
Al Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT. tidak terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas dan tidak akan melampaui garis-garis qadar. Dalam menguraikan af’al ini, Al Ghazali mengembalikan permasalahan kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Fâthir ayat 8.
2. Tashawuf Al Ghazali
Al Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.[7] Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siap yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas… Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan Tashawuf.[8] Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid Umawi di Damaskus.
Tashawuf Al Ghazali berbeda dengan tashawuf yang berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut, tashawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
3. Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali
Tujuan dari butir-butir nilai akhlâq yang dikemukakannya adalah sebagai sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena menurutnya, akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat ketuhanannya.[9]
Menurut Al Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan antara Imam Al Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof lainnya, Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an nafs al bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an nafs as sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an nâthiqah) yang berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan hancur. Al Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât al mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat dicapai dengan penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salahsatu karya Al Ghazali yang mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat dikatakan bahwa filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf Al Ghazal, yang bertujuan pokok:
Maksudnya bahwa manusia semampunya meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah menahan diri dari mencintai dunia wujud dan mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai Allah SWT.
Al Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, Al Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada Allah, yang terpenting adalah muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al Ghazali ada dua, yaitu kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al qalb).[10]
D. Pengaruh Pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya
Pemikiran Al Ghazali banyak mempengaruhi pada masa setelahnya, karena sesuai dengan ajaran Islam. Ia mendapat gelar Hujjatul Islâm karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan dari pihak luar, baik Islam maupun orientalis Barat.
Pemikiran Al Ghazali dan Ibn Rusyd pada dasarnya memiliki satu garis kesamaan, yaitu sebuah garis yang berangkat dari titik pemikiran Ibn Sina dengan aliran filsafat yang memiliki bangun dasar wahdatul wujûd. Al Ghazali mengemukakan bahwa para filosof yang mengajarkan tiga hal (keabadian alam, pengetahuan Tuhan yang universal dan menolak bangkitnya jasad setelah mati) adalah kafir, termasuk yang mengikutinya.[11]
Beberapa filosof yang terpengaruhi pemikiran-pemikiran Al Ghazali dari karya-karyanya, yaitu:[12]

B Mic Donal menerjemahkan beberapa pasal dari Ihyâ` ‘Ulûmuddîn.
H Baeur yang menterjemahkan Qawâ’id Al ‘Aqâ`id ditransfer ke dalam bahasanya, yaitu Dogmatic Al Ghazali’s.
Carra De Vaux yang menterjemahkan buku Tahâfut Al Falâsifah.
De Boer dan Asin Palacois yang masing-masing menterjemahkan Tahâfut Al Falâsifah.
Barbier De Minard yang menterjemahkan Al Munqizhu min Adl Dlalâl.
WHT. Craidner, London yang menterjemahkan buku Miskat Al Anwâr.

0 komentar: