MENU BLOG

Saturday, 27 September 2014

Pendiddikan Menurut Imam Ghazali Ath-Thusiy

Sebagai makluk agung ciptaan Allah swt., manusia telah dikaruniai kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniyah dan jasmaniyah. Agar dengannya, mereka mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraannya. Kemampuan dasar tersebut dalam sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang.
Sarana utama yang dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan, Oleh karena antara manusia dengan tuntutan hidupnya yang saling berpacu, maka pendidikan menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikatakan, pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup sepanjang sejarah.
Diantara pakar yang menaruh perhatian yang besar akan penyebarluasan ilmu dan pendidikan adalah Imam al-Ghazali[1], beliau dikenal sebagai ahli fiqih, kalam, seorang filosof dan seorang yang membawa pembaharu terhadap tafsiran ajaran-ajaran Islam, dan yang berkenaan dengan kemasyarakatan, bahkan juga sebagai tokoh pendidik akhlak bersandar Islam, kemudian mendapat gelar “Hujjatul Islam” karena banyak melakukan pembelaan terhadap Islam.
Menurut beliau pendidikan adalah sebagai sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt. Dengan itulah, pendidikan menurut al-Ghazali adalah suatu ibadah dan sarana kemashlahatan untuk membina umat. Disamping meningkatkan karirnya sebagai filosof dan ahli agama, Imam al-Ghazali juga sebagai reformer masyarakat. Demikianlah, al-Ghazali berdiri dalam satu barisan bersama para filosof dan reformer mayarakat (Sosiolog) sejajarnya yang dikenal sejarah, seperti Plato, J.J Rousseau dan Pestalozzi yang juga berkeyakinan bahwa perbaikan masyarakat itu hanya dapat dijangkau melalui pendidikan.[2]
Sisi pendidikan yang menarik perhatian dalam studi al-Ghazali adalah sikapnya yang sangat mengutamakan ilmu dan pengajaran, kekuatan pendiriannya dalam mempertahankan pengajaran yang benar sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ini beliau telah mengangkat status guru dan menumpukkan kepercayaannya pada guru yang dinilainya sebagai pemberi petunjuk (mursyid) dan pembina rohani yang baik. Mengenai keutamaan mencari ilmu, beliau berkata dalam kitab “Fatihatul Ulum”, sebagai berikut:
“………..Kesempurnaan umat manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dihampiri oleh ilmu pengetahuannya. Oleh karena itu, selama ilmunya banyak lagi sempurna, maka dia dekat dengan Allah swt. dan dia lebih mirip seperti malaikat-malaikatNya”.[3]
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatiannya yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Menurut H.M. Arifin (Guru besar dalam dalam bidang pendidikan), mengatakan bila dipandang dari segi filosofis, al-Ghazali adalah penganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan, al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap peserta didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan siapa yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.[4] al-Ghazali mengatakan, jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya, jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.
Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat dilihat dari dua segi, yaitu:[5]
1.     Teoritis
Sisi teoritis dari pemikiran ini terfokus pada konsep pengetahuan, yang mana al-Ghazali menawarkan ide-ide yang cukup mendetail tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, nilai ilmu pengetahuan dan kemudian menawarkan klasifikasi ilmu pengetahuan. Dalam sisi ini, al-Ghazali melihat ilmu pengetahuan dari berbagai sudut; nilai intrinsiknya, nilai etisnya dan nilai sosialnya.
1.     Praktis
Segi praktis dari pemikiran ini terpusat pada pola hubungan guru dengan murid. Diskusinya tentang guru dan murid mencakup berbagai kewajiban bagi kedua belah pihak, yang menurut al-Ghazali akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan Islam. Bagi al-Ghazali, tujuan akhir pendidikan adalah hari akhirat, sebagaimana halnya hari akhirat juga merupakan tujuan akhir dari kehidupan umat manusia. Konsekuensinya adalah bahwa keseluruhan proses pendidikan harus menuju tercapainya tujuan akhir.
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali, yaitu:[6]
1.     Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt., bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Hal ini mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali terhadap dunia, merasa Qana`ah (merasa cukup dengan yang ada) dan banyak memikirkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia.
2.     Sarana yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dalam hal ini, al-Ghazali memandang bahwa dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Tujuan pendidikan al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia ini hanya sebagai alat .[7]
Oleh karena itu, beliau bermaksud ingin mengajar umat manusia sehingga mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang dimaksudkan. Karena Imam al-Ghazali tidak melupakan masalah-masalah duniawi, maka beliau menyediakan porsinya dalam pendidikan Islam. Akan tetapi, penyediaan urusan dan kebahagiaan hidup di akhirat yang dikatakan lebih utama dan lebih abadi. Sebab dunia ini hanyalah sebagai ladang akhirat saja. Ia merupakan sarana yang dapat mengantarkan kepada Allah swt., bagi orang yang menfungsikan dunia ini sebagai tempat peristirahatan, bukan sebagai tempat tinggal yang permanen dan tumpah darah yang abadi.


Image: latifahbuhairah.blogspot
[1] Nama lengkap Imam al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di kota Thusia, salah satu kota di negeri Khurosan,  Persia, pada tahun 450 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 1058 Masehi.
[2] Fathiyah Hasan Sulaiman , Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, (Bandung: P.T. Al-Ma’arif, 1993), hal. 24.
[3] Fathiyah Hasan Sulaiman , Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, (Bandung: P.T. Al-Ma’arif, 1993), hal. 23.
[4] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 161.
[5] Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik (Gagasan Pendidikan Al-Ghazali), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hal. 4.
[6] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, (Bandung: P.T. Al-Ma’arif, 1993), hal. 24.

[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 162-163

0 komentar: