Sebagai makluk agung
ciptaan Allah swt., manusia telah dikaruniai kemampuan-kemampuan dasar yang
bersifat rohaniyah dan jasmaniyah. Agar dengannya, mereka mampu mempertahankan
hidup serta memajukan kesejahteraannya. Kemampuan dasar tersebut dalam sejarah
pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala
bidang.
Sarana utama yang
dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan,
Oleh karena antara manusia dengan tuntutan hidupnya yang saling berpacu, maka
pendidikan menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikatakan, pendidikan merupakan
kunci dari segala bentuk kemajuan hidup sepanjang sejarah.
Diantara pakar yang
menaruh perhatian yang besar akan penyebarluasan ilmu dan pendidikan adalah
Imam al-Ghazali[1],
beliau dikenal sebagai ahli fiqih, kalam, seorang filosof dan seorang yang
membawa pembaharu terhadap tafsiran ajaran-ajaran Islam, dan yang berkenaan
dengan kemasyarakatan, bahkan juga sebagai tokoh pendidik akhlak bersandar
Islam, kemudian mendapat gelar “Hujjatul Islam” karena banyak melakukan
pembelaan terhadap Islam.
Menurut beliau
pendidikan adalah sebagai sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan
jiwa dan sebagai media untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt. Dengan
itulah, pendidikan menurut al-Ghazali adalah suatu ibadah dan sarana
kemashlahatan untuk membina umat. Disamping meningkatkan karirnya sebagai
filosof dan ahli agama, Imam al-Ghazali juga sebagai reformer masyarakat. Demikianlah,
al-Ghazali berdiri dalam satu barisan bersama para filosof dan reformer
mayarakat (Sosiolog) sejajarnya yang dikenal sejarah, seperti Plato, J.J
Rousseau dan Pestalozzi yang juga berkeyakinan bahwa perbaikan masyarakat itu
hanya dapat dijangkau melalui pendidikan.[2]
Sisi pendidikan yang
menarik perhatian dalam studi al-Ghazali adalah sikapnya yang sangat
mengutamakan ilmu dan pengajaran, kekuatan pendiriannya dalam mempertahankan
pengajaran yang benar sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ini beliau telah mengangkat
status guru dan menumpukkan kepercayaannya pada guru yang dinilainya sebagai
pemberi petunjuk (mursyid) dan pembina rohani yang baik. Mengenai keutamaan
mencari ilmu, beliau berkata dalam kitab “Fatihatul Ulum”, sebagai berikut:
“………..Kesempurnaan
umat manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dihampiri
oleh ilmu pengetahuannya. Oleh karena itu, selama ilmunya banyak lagi sempurna,
maka dia dekat dengan Allah swt. dan dia lebih mirip seperti
malaikat-malaikatNya”.[3]
Al-Ghazali termasuk ke
dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatiannya yang besar terhadap
pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu
bangsa dan pemikirannya. Menurut H.M. Arifin (Guru besar dalam dalam bidang
pendidikan), mengatakan bila dipandang dari segi filosofis, al-Ghazali adalah
penganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar
pandangannya. Dalam masalah pendidikan, al-Ghazali lebih cenderung berpaham
empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh
pendidikan terhadap peserta didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada
orang tua dan siapa yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana
permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.[4] al-Ghazali mengatakan,
jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi
baik. Sebaliknya, jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak
itu akan berakhlak jelek.
Pemikiran pendidikan
al-Ghazali dapat dilihat dari dua segi, yaitu:[5]
1.
Teoritis
Sisi teoritis dari
pemikiran ini terfokus pada konsep pengetahuan, yang mana al-Ghazali menawarkan
ide-ide yang cukup mendetail tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan,
nilai ilmu pengetahuan dan kemudian menawarkan klasifikasi ilmu pengetahuan.
Dalam sisi ini, al-Ghazali melihat ilmu pengetahuan dari berbagai sudut; nilai
intrinsiknya, nilai etisnya dan nilai sosialnya.
1.
Praktis
Segi praktis dari
pemikiran ini terpusat pada pola hubungan guru dengan murid. Diskusinya tentang
guru dan murid mencakup berbagai kewajiban bagi kedua belah pihak, yang menurut
al-Ghazali akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan Islam. Bagi al-Ghazali,
tujuan akhir pendidikan adalah hari akhirat, sebagaimana halnya hari akhirat
juga merupakan tujuan akhir dari kehidupan umat manusia. Konsekuensinya adalah
bahwa keseluruhan proses pendidikan harus menuju tercapainya tujuan akhir.
Tujuan pendidikan
menurut al-Ghazali, yaitu:[6]
1.
Insan purna yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt., bukan untuk mencari kedudukan,
kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang.
Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada
Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Hal ini
mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali terhadap dunia, merasa Qana`ah (merasa
cukup dengan yang ada) dan banyak memikirkan kehidupan akhirat dari pada
kehidupan dunia.
2.
Sarana yang bertujuan
mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dalam hal ini, al-Ghazali
memandang bahwa dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi dan akan
rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Tujuan
pendidikan al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia ini
hanya sebagai alat .[7]
Oleh karena itu,
beliau bermaksud ingin mengajar umat manusia sehingga mereka dapat mencapai
tujuan-tujuan yang dimaksudkan. Karena Imam al-Ghazali tidak melupakan
masalah-masalah duniawi, maka beliau menyediakan porsinya dalam pendidikan
Islam. Akan tetapi, penyediaan urusan dan kebahagiaan hidup di akhirat yang
dikatakan lebih utama dan lebih abadi. Sebab dunia ini hanyalah sebagai ladang
akhirat saja. Ia merupakan sarana yang dapat mengantarkan kepada Allah swt.,
bagi orang yang menfungsikan dunia ini sebagai tempat peristirahatan, bukan
sebagai tempat tinggal yang permanen dan tumpah darah yang abadi.
Image:
latifahbuhairah.blogspot
[1] Nama lengkap Imam
al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di
kota Thusia, salah satu kota di negeri Khurosan, Persia, pada tahun 450
Hijriyah, bertepatan dengan tahun 1058 Masehi.
[2] Fathiyah Hasan
Sulaiman , Sistem Pendidikan
Versi Al-Ghazali, (Bandung: P.T.
Al-Ma’arif, 1993), hal. 24.
[3] Fathiyah Hasan
Sulaiman , Sistem Pendidikan
Versi Al-Ghazali, (Bandung: P.T.
Al-Ma’arif, 1993), hal. 23.
[4] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.
161.
[5] Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik (Gagasan
Pendidikan Al-Ghazali), (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1999), hal. 4.
[6] Fathiyah Hasan
Sulaiman, Sistem Pendidikan
Versi Al-Ghazali, (Bandung: P.T.
Al-Ma’arif, 1993), hal. 24.
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.
162-163
0 komentar:
Post a Comment