Sebut
saja Linda (bukan nama sebenarnya), ketika hendak mengambil rapot anaknya,
kelas X di sebuah SMA negeri di wilayah Timur Jakarta mengalami hambatan. Ia
harus membayar sisa cicilan uang pangkal yang disebut IPDB, baru bisa mengambil
rapot. IPDB beberapa juta rupiah, jika bisa dibayar lunas tentu tak masalah,
sebab itu hanya bisa dilakukan oleh orang mampu. Linda tak sanggup membendung
airmatanya ketika ia harus berhadapan dengan Komite Sekolah (konon disebut
“preman berseragam/berkerudung”), harus membayar cicilan berikutnya, minimal
lima ratus ribu rupiah, barulah bisa mendapatkan rapotnya.
Bagi
keluarga berpenghasilan lemah, tentu hanya bisa mencicil, sebab tak ada yang
disebut keringanan mutlak dibebaskan dari kewajiban membayar. Jika pun ingin
bebas, tentu harus melalui surat keterangan dari RT/RW atau tetangga
sekitarnya, lalu Lurah. Setelah mendapat stempel “miskin”, barulah bisa
dibebaskan dari kewajiban membayar.
Tentu
syarat seperti itu sungguh berbelit-belit, sedang untuk si anak, akan berakibat
fatal, “malu” terhadap teman-temannya. Namun Linda hampir berkeras untuk tak
membayar cicilan, sebab uang gajinya yang baru diterima bulan itu, hanya cukup
untuk makan sebulan berikutnya (yang belum tentu juga cukup), bersama ketiga
anak-anaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk membayar cicilan dengan airmata
berlinang, menghadap wali kelasnya untuk menunjukkan bukti pembayaran.
Ilustrasi
selanjutnya tak perlu dijelaskan panjang lebar, takut menjadi ajang curhat
pribadi. Namun persoalan yang ingin saya angkat adalah, pungutan-pungutan yang
serba tak jelas dan tak ada surat edaran resmi dari sekolah kepada orang tua
murid. Acapkali ketika ditanyakan “Mana surat edarannya?” anak akan menjawab
“Tidak ada”. Alhasil, orang tua hanya bisa mengelus dada, menelan ludah dan
mengernyitkan alis. Pening kepala pun berlanjut.
Saya
jadi teringat ketika pertama kali digembargemborkan “sekolah gratis” atau APBN
20% untuk pendidikan, lalu ada pemantauan dari pihak pemerintah untuk terus
memonitor sepak terjang Kepala Sekolah dan jajaran guru di sekolah sekolah
negeri agar tak mengenakan pungutan ekstra (dengan dalih apapun namanya).
Terbukti, pemberlakuan monitoring itu hanya berhembus sesaat, lalu menguap.
Terlepas dari sisi wartawannya ingin memeras atau apapun namanya. Tetapi
pungutan “liar” itu masih berjalan hingga saat ini.
Persoalan
berlanjut pada biaya daftar ulang. Jika alasannya karena untuk membeli
buku-buku wajib pelajaran, masih bisa dimengerti, tetapi kemudian ada alasan
uang ini dan itu yang mengakibatkan biaya daftar ulang membengkak. Belum lagi
ada cicilan “tabungan” untuk liburan akhir semester ke luar kota, misalnya :
Bali, Jogya, Bromo, Batam atau lain-lainnya. Lho, ini acara untuk guru
bersenang-senang atau kebutuhan anak didik?
Sebagai
orang awam, tentu saya jadi miris karena alasan utama kenaikan dan
pungutan-pungutan itu adalah untuk membayar guru honorer, yang juga tak jelas
berapa jumlahnya, dan berapa honor setiap guru tersebut dalam sebulan.
Sementara guru-guru PNS bisa memiliki mobil mewah, ke sekolah atau ke lain
tempat untuk mencari penghasilan tambahan. Di pihak lain, mengapa begitu sulit untuk
mengangkat guru honorer menjadi PNS? Apakah karena harus UUD
(ujung-ujungnya….).
Alasan
kedua adalah untuk memperbaiki infrastruktur sekolah. Infrastruktur yang mana
jika setiap tahun pemandangan tak pernah berganti, situasi areal gedung sekolah
juga masih sama, lapangan, aula, musholla, ruang kelas, kebun, ruang praktikum,
dsb. Lalu uang IPDB yang terkumpul di awal masuk itu untuk apa atau siapa?
Tentu
jumlahnya bisa ratusan juta, bahkan milyaran yang tentu seharusnya akan sanggup
untuk memperbaiki komputer yang rusak atau update software, atau AC (yang hanya
untuk ruang guru) atau lemari cabinet di tiap kelas yang sudah reyot, atau
bangku santai di depan ruang ruang kelas. Bahkan mungkin tempat duduk siswa
yang sudah “jomplang” beberapa buah. Semua bisa dihitung secara kasat mata.
Tapi tentu tak ada yang berani mengangkat “pungutan tak jelas” itu sebagai
sebuah persoalan bersama yang harus diberantas. Tidak ada bukti berupa surat
edaran yang bisa diajukan ke PTUN bidang pendidikan, atau ke DPR sebagai
pembuat undang-undang. Jika pun akan protes, banyak yang mungkin takut jika
anaknya akan terancam proses belajarnya, atau akan mengalami tekanan mental
dari guru-gurunya, dsb.
Kemudian
mata saya jadi makin membelalak, bahkan hati tersentak, ketika –ternyata—bukan
hanya sekolah anak Linda yang memberlakukan tabungan akhir tahun bepergian ke
luar kota, tetapi banyak anak-anak SMA dari sekolah lain yang juga mengalami
pungutan sama. Bahkan ada satu sekolah yang berencana untuk berwisata ke
Singapura, negeri tetangga. Aneh!
Persoalan
kembali menjadi blunder, ketika dikaitkan dengan kebutuhan peserta didik dengan
semua wisata tersebut. Mengingat orang tua mereka sendiri belum pernah
menjejakkan kakinya di Bali, atau Batam, atau Jogya, bahkan Singapura.
Sedangkan si anak dipaksa membayar untuk itu. kesimpulan yang diperoleh hanya
satu : guru-guru ingin berwisata gratis dengan fasilitas iuran siswa. Aduhai!
Logika
apa yang bisa diterima secara alamiah tentang segala pungutan itu? Apa hasil
yang bisa diperoleh siswa usai menamatkan pendidikannya? Adakah berwisata ke
segala tempat itu termasuk dalam tujuan pendidikan? Belum lagi ancaman yang
bernada “persuasive”, jika tidak ikut, maka akan………dan seterusnya. Beginikah
potret pendidikan di sekolah Negeri?
0 komentar:
Post a Comment