MENU BLOG

Friday, 14 November 2014

Beginikah Pendidikan di Sekolah Negeri

Sebut saja Linda (bukan nama sebenarnya), ketika hendak mengambil rapot anaknya, kelas X di sebuah SMA negeri di wilayah Timur Jakarta mengalami hambatan. Ia harus membayar sisa cicilan uang pangkal yang disebut IPDB, baru bisa mengambil rapot. IPDB beberapa juta rupiah, jika bisa dibayar lunas tentu tak masalah, sebab itu hanya bisa dilakukan oleh orang mampu. Linda tak sanggup membendung airmatanya ketika ia harus berhadapan dengan Komite Sekolah (konon disebut “preman berseragam/berkerudung”), harus membayar cicilan berikutnya, minimal lima ratus ribu rupiah, barulah bisa mendapatkan rapotnya.
Bagi keluarga berpenghasilan lemah, tentu hanya bisa mencicil, sebab tak ada yang disebut keringanan mutlak dibebaskan dari kewajiban membayar. Jika pun ingin bebas, tentu harus melalui surat keterangan dari RT/RW atau tetangga sekitarnya, lalu Lurah. Setelah mendapat stempel “miskin”, barulah bisa dibebaskan dari kewajiban membayar.
Tentu syarat seperti itu sungguh berbelit-belit, sedang untuk si anak, akan berakibat fatal, “malu” terhadap teman-temannya. Namun Linda hampir berkeras untuk tak membayar cicilan, sebab uang gajinya yang baru diterima bulan itu, hanya cukup untuk makan sebulan berikutnya (yang belum tentu juga cukup), bersama ketiga anak-anaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk membayar cicilan dengan airmata berlinang, menghadap wali kelasnya untuk menunjukkan bukti pembayaran.
Ilustrasi selanjutnya tak perlu dijelaskan panjang lebar, takut menjadi ajang curhat pribadi. Namun persoalan yang ingin saya angkat adalah, pungutan-pungutan yang serba tak jelas dan tak ada surat edaran resmi dari sekolah kepada orang tua murid. Acapkali ketika ditanyakan “Mana surat edarannya?” anak akan menjawab “Tidak ada”. Alhasil, orang tua hanya bisa mengelus dada, menelan ludah dan mengernyitkan alis. Pening kepala pun berlanjut.
Saya jadi teringat ketika pertama kali digembargemborkan “sekolah gratis” atau APBN 20% untuk pendidikan, lalu ada pemantauan dari pihak pemerintah untuk terus memonitor sepak terjang Kepala Sekolah dan jajaran guru di sekolah sekolah negeri agar tak mengenakan pungutan ekstra (dengan dalih apapun namanya). Terbukti, pemberlakuan monitoring itu hanya berhembus sesaat, lalu menguap. Terlepas dari sisi wartawannya ingin memeras atau apapun namanya. Tetapi pungutan “liar” itu masih berjalan hingga saat ini.
Persoalan berlanjut pada biaya daftar ulang. Jika alasannya karena untuk membeli buku-buku wajib pelajaran, masih bisa dimengerti, tetapi kemudian ada alasan uang ini dan itu yang mengakibatkan biaya daftar ulang membengkak. Belum lagi ada cicilan “tabungan” untuk liburan akhir semester ke luar kota, misalnya : Bali, Jogya, Bromo, Batam atau lain-lainnya. Lho, ini acara untuk guru bersenang-senang atau kebutuhan anak didik?
Sebagai orang awam, tentu saya jadi miris karena alasan utama kenaikan dan pungutan-pungutan itu adalah untuk membayar guru honorer, yang juga tak jelas berapa jumlahnya, dan berapa honor setiap guru tersebut dalam sebulan. Sementara guru-guru PNS bisa memiliki mobil mewah, ke sekolah atau ke lain tempat untuk mencari penghasilan tambahan. Di pihak lain, mengapa begitu sulit untuk mengangkat guru honorer menjadi PNS? Apakah karena harus UUD (ujung-ujungnya….).
Alasan kedua adalah untuk memperbaiki infrastruktur sekolah. Infrastruktur yang mana jika setiap tahun pemandangan tak pernah berganti, situasi areal gedung sekolah juga masih sama, lapangan, aula, musholla, ruang kelas, kebun, ruang praktikum, dsb. Lalu uang IPDB yang terkumpul di awal masuk itu untuk apa atau siapa?
Tentu jumlahnya bisa ratusan juta, bahkan milyaran yang tentu seharusnya akan sanggup untuk memperbaiki komputer yang rusak atau update software, atau AC (yang hanya untuk ruang guru) atau lemari cabinet di tiap kelas yang sudah reyot, atau bangku santai di depan ruang ruang kelas. Bahkan mungkin tempat duduk siswa yang sudah “jomplang” beberapa buah. Semua bisa dihitung secara kasat mata. Tapi tentu tak ada yang berani mengangkat “pungutan tak jelas” itu sebagai sebuah persoalan bersama yang harus diberantas. Tidak ada bukti berupa surat edaran yang bisa diajukan ke PTUN bidang pendidikan, atau ke DPR sebagai pembuat undang-undang. Jika pun akan protes, banyak yang mungkin takut jika anaknya akan terancam proses belajarnya, atau akan mengalami tekanan mental dari guru-gurunya, dsb.
Kemudian mata saya jadi makin membelalak, bahkan hati tersentak, ketika –ternyata—bukan hanya sekolah anak Linda yang memberlakukan tabungan akhir tahun bepergian ke luar kota, tetapi banyak anak-anak SMA dari sekolah lain yang juga mengalami pungutan sama. Bahkan ada satu sekolah yang berencana untuk berwisata ke Singapura, negeri tetangga. Aneh!
Persoalan kembali menjadi blunder, ketika dikaitkan dengan kebutuhan peserta didik dengan semua wisata tersebut. Mengingat orang tua mereka sendiri belum pernah menjejakkan kakinya di Bali, atau Batam, atau Jogya, bahkan Singapura. Sedangkan si anak dipaksa membayar untuk itu. kesimpulan yang diperoleh hanya satu : guru-guru ingin berwisata gratis dengan fasilitas iuran siswa. Aduhai!
Logika apa yang bisa diterima secara alamiah tentang segala pungutan itu? Apa hasil yang bisa diperoleh siswa usai menamatkan pendidikannya? Adakah berwisata ke segala tempat itu termasuk dalam tujuan pendidikan? Belum lagi ancaman yang bernada “persuasive”, jika tidak ikut, maka akan………dan seterusnya. Beginikah potret pendidikan di sekolah Negeri?


0 komentar: