A. Sejarah
Pendidikan Islam di
Indonesia
Pendidikan Islam
menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada
perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi
keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.
(Zakiah Drajat,1996: 25)
Dengan demikian,
pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan
jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim
yang baik (Insan Kamil).[1]
Perkembangan
yang sangat pesat dirasakan sejak awal tahun 1900an. yaitu Para pemimpin pergerakan Nasional sadar
bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bersifat Nasional harus segera dimasukan
dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah. Sekolah partikelir atas
usaha para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu semula memiliki 2 corak,
yaitu :
1. Sesuai dengan Haluan Politik
-
Taman Siswa, yang pertama
didirikan di Yogyakarta.
-
Sekolah Serikat Rakyat di
Semarang, yang berhaluan Komunis.
-
Ksatrian Institut, yang
didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setia Budi) di Bandung.
-
Perguruan Rakyat, di Jakarta
dan Bandung.
2. Sesuai dengan Tuntutan / Ajaran Agama
(Islam)
-
Sekolah-sekolah Serikat Islam
-
Sekolah-sekolah Muhammadiyah
-
Sumatera Tawalib di Padang
Panjang
-
Sekolah-sekolah Nahdhatul
Ulama
-
Sekolah-sekolah Persatuan
Umat Islam (PUI)
-
Sekolah-sekolah Al-Jami’atul
Wasliyah
-
Sekolah-sekolah Al-Irsyad
-
Sekolah-sekolah Normal Islam
B.
Pendidikan Islam
Sebelum Penjajahan Eropa
Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam
dilaksanakan secara informal. Didikan dan ajaran Islam diberikan dengan
perbuatan, contoh dan keteladanan. Pendidikan dan pengajaran Islam secara
Informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik, karena dengan
berangsur-angsur tersebarlah agama Islam keseluruh kepulauan Indonesia. Mulai
dari Sabang sampai Maluku.
Karena dengan cepatnya Islam tersebar diseluruh Indonesia, maka banyaklah
didirikan tempat-tempat ibadah seperti Mesjid, Langgar atau Surau, yang mana
tempat-tempat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi
juga sebagai tempat pendidikan yang sangat sederhana. Modal pokok yang mereka
miliki hanya semangat menyiarkan agama dan semangat menuntut ilmu bagi yang belum
memilikinya.
Tempat-tempat pendidikan Islam seperti inilah yang menjadi embrio
terbentuknya system pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam yang
formal yang berbentuk madrasah atau sekolah yang berdasar keagamaan.
Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan Islam menurut rencana yang teratur
sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1476 dengan berdirinya Bayangkara Islah di
Bintara Demak yang ternyata merupakan organisasi pendidikan Islam yang pertama
di Indonesia. Dalam rencana kerja dari Bayangkara Islah disebutkan bahwa supaya
mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat maka didikan dan ajaran Islam harus
dibeikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat itu asal tidak
menyalahi hukum syara’.
Untuk merealisasikan rencana ini, maka pada suatu Sidang Dewan Walisongo
dan Kerajaan Demak, memutuskan bahwa semua cabang kebudayaan Nasional yakni
filsafat hidup, kesenian, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagainya
sedapat mungkin diisi dengan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran agama
Islam. Kebijaksanaan Wali-wali menyiarkan agama dan memasukan anasir-anasir
pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional
Indonesia, sangatlah memuaskan, sehingga agama Islam tersebar di seluruh
kepulauan Indonesia. [2]
C.
Pendidikan Islam di
Zaman Penjajahan
1. Pendidikan Islam Pada Masa Belanda
Kehadiran Belanda di jawa tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam
Indonesia , tetapi juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat. Segala
aktivitas umat islam yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan ditekan. Belanda
terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengamalan agama islam.
Termasuk juga terhadap pendidikan islam sendiri.
Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka masam sekolah, ada yang
bernama Sekolah Dasar, Sekolah Kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain.
Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum,
tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait kebijakan
pemerintah colonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan
bahwa setiap guru agama harus minta izin dahulu. Peraturan itu besar sekali
pengaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan islam.
Pada pertengahan abad 19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan
pendidikan model barat yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan
sekelompok kecil orang Indonesia (bangsawan).
Selanjutnya pemerintah memberlakukan politik etis yang
mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan. Belanda tidak
mengakui para lulusan pendidikan tradisional , sehingga mereka tidak bisa
bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat.
Sejarah mencatat bahwa pada masa awal lahirnya islam , umat islam belum
memiliki budaya membaca dan menulis karena belum adanya tuntutan dari
perkembangan masyarakat. Disisilain tujuan sekolah belanda didirikan adalah
untuk menghasilkan tenaga ahli yang dapat bekerja dengan baik namun digaji
sangat murah daripada pekerja golongan Belanda yang didatangkan dari negeri
Belanda. Inilah kemungkinan yang melatarbelakangi pendidikan formal
berorientasi pad akerja dengan sifat-sifatnya kapitalis yang cinta pada harta
benda atau sifat materialistic, sehingga mengalami berbagai mal praktek
pendidikan yang dilakukan sekarang ini.
Umat islam pada masa itu mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang
dikelola umat islam dan yang dikelola colonial. System pendidikan yang dikelola
Belanda adalah pendidikan modern liberal dan netral agama. Namun kenetralan
Belanda ternyata tidak konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen dari
pada islam. Karena mereka menganggap islam memiliki kekuatan politik yang
membahayakan mereka. Maka islam senantiasa mengalami tekanan dan selalu diawasi
gerak geriknya.
Sikap belanda in didasarkan atas analisi Snouck Hurgronje yang
memilah islam pada tiga kategori yakni dalam arti ibadah, social
kemasyarakatan, dan kekuatan politik. Pada kategori yang terakhir ini lah
belanda bersikap menekan umat islam.
Kesempatan masyarakatn untuk memperoleh pendidikan pada masa itu didasarkan
pada stratifikasi social yang rasial yakni ditentukan oleh kelas keturunan,
jabatan, kekayaan, dan pendidikan orang tuanya. Berdasarkan stratifikasi social
tersebut pendidikan pada masa colonial ada tiga macam yaitu pendidikan untuk
bangsa belanda, pendidikan untuk pribumi kelas priyayi, pendidikan pribumi
kelas rendah. Dan sekarang pun masih kita jumpai bahwa pendidikan elit terkesan
didominasi kalangan kaya saja. Karena memang kalangan miskin tak mampu membayar
semua kelengkapan fasilitas yang ada di dalamnya.
Oleh karenanya hendaknya system kapitalis di lingkungan pendidikan itu
disingkirkan dan hendaknya membangkitkan beberapa organisasi islam antara lain
Sarekat Islam berupaya mendirikan sekolah yang pada saat dimaksudkan sebagai
tempat pendidikan untuk anak-anak anggota SI, karena kedudukan dan tingkat
penghasilan orang tuanya memang tidak mungkin mendapat temapt dalam sekolah Hindia
Belanda pada waktu itu.
Oleh karena itu pendidikan SI juga merupakan upaya counter attack kepada
pihak colonial yang berusaha menganaktirikan kaum inlander dalam bidang
pendidikan khususnya dan persamaan hidup pada umumnya. Sebab saat itu
bangsa Indonesia hanya dipandang sebagai penduduk kelas nomor tiga. Kelas nomor
tiga adalah suatu kelas yang plaing rendah dalam negeri, dimana ornag Belanda
sebagai kelas nomor satu, orang asing (termasuk cina) sebagai kelas nomor dua,
sedangkan orang Indonesia sebagai kelas tiga.
Disamping itu system pendidikan yang diterapkan oleh colonial Belanda pada
saat itu juga sangat tidak menguntungkan bangsa Indonesia, karena pada dasarnya
bertujuan untuk menjadikan warga Negara yang mengabdi kepada kepentingan
colonial Belanda.
Kedatangan Belanda di satu pihak memang telah membawa kemajuan teknologi ,
tetapi teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk pribumi, tujuannya hanyalah
meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula dengan pendidikan, mereka telah
memperkenalkan system dan metodologi baru, namun semua itu dilakukan sekedar
untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang daapt membantu segala kepentingan
penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan dengan jika mereka harus
mendatangkan tenaga dari Barat.
2. Pendidikan Islam pada masa Penjajah Jepang
Pendidikan pada zaman jepang disebut Hakku Ichiu yakni mengajak bangsa
Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh
karena itu bagi setiap pelajar setiap hari terutama pada pagi ahri harus
mengucapkan sumaph setia kepada kaisar jepang, lalu dilatih kemiliteran.
Jepang mengadakan perubahan di bidang pendidikan, diantaranya menghapuskan
dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran
Belanda yang dualistis membedakan antara pengajaran barat dan pengajaran
pribumi. Adapun susunan pengajaran menjadi. Pertama, Sekolah Rakyat enam tahun
(termasuk sekolah pertama). Kedua , sekolah menengah tiga tahun. Ketiga,
sekolah menengah tinggi tiga tahun( SMA pada zaman jepang). Terbukti
bahwa system perjenjangan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan masa
penjajahan jepang.
Pada awalnya pemerintah jepang mengambil siasat merangkul umat islam sebagi
mayoritas penduduk Indonesia. Sikap penjajah jepang terhadap pendidikan islam
ternyata lebih lunak, sheingga ruang gerak pendidikan islam lebih bebas.
Pesantren-pesantren yang besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari
pembesar-pembesar jepang. Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang
isinya identik dengan ajaran agama. Pemerintah Jepang juga mengizinkan
berdiirnya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim,
Kahar Muzakir, dan Bung Hatta.
Pada perang dunia II kedudukan Jepang terjepit, akhirnya Jepang mulai
menekan dan menjalankan kekerasan terhadap bangsa Indonesia. Jepang lalu
memberlakukan romusha (kerja paksa), kemudian jepang membentuk badan-badan
pertahanan rakyat semesta . kehidupan rakyat semakin tertindas dan menderita
maka lahirlah berbagai pembertontakan.
Namun demikian masih ada beberapa keuntungan di balik kekejaman Jepang
tersebut. Bahasa Indonesia hidup dan berkembnag secara luas di seluruh
Indonesia, baik sebagai bahasa pergaulan, bahasa pengantar maupun sebagai
bahasa ilmiah.
Buku-buku dalam bahasa asing yang diperlukan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Kreatifitas guru-guru berkembang dalam memenuhi kekurnagan buku
pelajaran dan menyadur atau mengarang sendiri, termasuk kreatifitas untuk
menciptakan alat peraga dan model dnegan baha dan alat yang tersedia.
Pendidikan islam di zaman jepang dapat bergerak lebih bebas bila
dibandingkan dari zaman belanda. Pada masa penjajahan jepang atas usaha Muhmud
Yunus di sumatera barat, dapat disetujui oleh kepala jawatan pengajaran jepang
untuk memasukkan pendidikan agama islam ke sekolah-sekolah pemerintah, mulai
sekolah dasar.[3]
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Post a Comment