BAB 1 : PENDAHULUAN
The History of The Qur'anic Text hal 1 - 14
“ Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. "1 |
Petunjuk, Kesenangan dan Keindahan. Bagi
seorang yang beriman
Kitab Suci Al-Qur'an akan melebihi segalanya: denyut keimanan, kenangan di saat
mengalami kegembiraan dan penderitaan, sumber realitas ilmiah yang tepat, gaya
lirik yang indah,
khazanah kebijaksanaan serta munajat. Ayat-ayatnya menghiasi mulai dinding toko
buku hingga ruang tamu, terukir dalam ingatan tua dan muda, serta gaungya
terdengar di keheningan malam dari atas menara masjid di seluruh dunia. Namun
demikian, Sir William Muir (1819-1905) tetap memberi pernyataan, "Islam sebagai
musuh peradaban, kebebasan, clan kebenaran seperti dunia telah mengakuinya."2 Tak ada manusia lain yang bersikap toleransi
kecuali menebar rasa benci dan curiga terhadap A1-Qur'an sejak abad-abad silam
hingga kini seperti dilakukan oleh para ilmuwan, penginjil, hingga para
politikus musiman. Dikotomi seperti itu sangat menyakitkan hati umat Islam dan
juga membingungkan kalangan non-Muslim yang pada gilirannya akan membenarkan
anggapan bahwa setiap kelompok akan menghina kitab suci orang lain. Di mana
bukti dan faktanya? Dihadapkan pada pokok pembicaraan yang teramat luas lagi
sensitif dan penuh pemikiran yang perlu pertimbangan, saya menjelajah ke
mana-mana yang pada mulanya, kemudian membuahkan hasil, berawal dari sebuah
artikel yang ditulis oleh seseorang yang namanya tak pernah saya dengar
sebelumnya.
Apakah Al-Qur'an itu? Artikel utama terbitan Januari 1999
yang dimuat di Atlantic Monthly,
mengangkat asal usul keaslian dan
integritas Al-Qur'an.3 Kualifkasi pengarang, Toby
Lester, seluruhnya seperti tertulis dalam majalah memberi isyarat bahwa la tidak
belajar Islam kecuali dari pengala:nan selama tinggal di Yaman dan Palestina
beberapa tahun kendati hal ini tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghalangi
karena tampaknya ia belajar sungguh-sungguh dalam membuat perdebatan.
la
mengatakan,
Keilmuan Barat tentang Al-Qur'an
biasanya terjadi dalam bentuk pernyataan permusuhan secara terbuka antara
Kristen dan Islam. Ilmuwan Kristen dan Yahudi khususnya menganggap Kitab Suci
Al-Qur'an ada dalam lingkaran perubahan...4
Setelah mengupas kecaman William Muir
terhadap Al-Qur'an, T. Lester, menjelaskan bahwa dulu para ilmuwan Soviet
melihat Islam berdasarkan sikap keragu-raguan ideologi. N.A. Morozov misalnya,
dengan mudah memberi alasan bahwa "hingga masa Perang Salib tidak dapat
dibedakan dengan agama Yahudi dan hanya setelah masa itu ia memiliki ciri khas
tersendiri sedang Muhammad dan para Khalifah pertama tidak lebih dari tokoh
dalam cerita bohong."5
Pendapat ini dapat memberi isyarat pada
pihak lain bahwa
pendekatan yang dilakukan T. Lester karena semata-mata akademik: suatu
keingintahuan seorang wartawan dalam memberi laporan secara jujur. Dalam satu
wawancara dengan harian ash-Sharq
al-Awsat 6 ia menolak anggapan akan adanya niat jahat, perasaan
marah, perilaku salah terhadap umat Islam dan bahkan bersikeras ingin
mencari kebenaran. Tetapi tak bisa dimungkiri bahwa ia telah menguras tenaga
dalam mengumpulkan sumber informasi dari kelompok yang antitradisi dan menyeru
perlunya penafsiran ulang terhadap Kitab Suci umat Islam. Secara jelas ia
mengutip pendapat Dr. Gerd R. Joseph Puin, perihal pemulihan kepingan kertas
kulit naskah Kitab Al-Qur'an yang terdapat di San'a', Yaman, yang saya lihat
baru-baru ini di mana la dan kelompoknya pantas mendapat acungan jempol.
Sekarang, seorang pekerja penjilidan buku yang dapat melakukan tugasnya dengan
balk tentang matematika yang teramat kompleks, tidak secara otomatis sama
derajatnya dengan pakar matematika karena jasanya dalam tnengatur
halaman-halaman yang ada. Di sini J. Puin dikelompokkan sebagai ahli tentang
sejarah Al-Qur'an secara keseluruhan,
"Begitu banyak kaum Muslimin beranggapan
bahwa Al-Qur'an
merupakan kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan," begitu kata
Dr. Puin. "Mereka sengaja mengutip karya naskah yang menunjukkan bahwa Bible
memiliki sejarah dan tidak langsung turun dari langit, namun hingga sekarang
AI-Qur'an berada di luar konteks pembicaraan ini. Satu-satunya cara menggempur
dinding penghalang ini adalah mengadakan pembuktian bahwa Qur'an juga memiliki sejarah. Beberapa
kepingan kertas kulit yang ada di San'a akan dapat membantu upaya ini."7
Referensi lain yang digunakan T. Lester
adalah Andrew Rippin, seorang profesor di bidang kajian agama-agama dari
Universitas Calgary yang menjelaskan,
"Bacaan yang berlainan dan susunan ayat-ayat kesemuanya
teramat penting. Semua orang sependapat akan masalah ini. Naskah-naskah ini
menyebut bahwa sejarah teks Al-Qur'an di masa lampau melebihi dari sebuah
pertanyaan terbuka dari apa yang lazim dianggap orang banyak:
teks itu tidak
tetap dan memiliki kekurangan otoritas dari anggapan yang ada.
"8
Secara pribadi saya melihat pendapat
Prof. Rippin sangat membingungkan. Di satu sisi sejak masa Nabi Muhammad, para
sahabat mengakui adanya perbedaan bacaan. Sangat tidak beralasan untuk dikatakan
sebagai penemuan baru. Di sisi lain, bukan Puin sekali pun (sejauh yang saya
pahami) beranggapan telah menyingkap perbedaan-perbedaan susunan ayat Al-Qur'an
dalam naskah, kendati pendapatnya tentang Al-Qur'an sejalan dengan aliran revisi
modern yang mengatakan,
"Pemikiran saya adalah bahwa Al-Qur'an
tidak lebih dari naskah cocktail yang tidak semuanya dapat dipahami di zaman
Nabi Muhammad sekalipun." Begitu kata Puin. "Banyak di antaranya yang mungkin
seratus tahun lebih tua dari Islam itu sendiri. Kendati dalam tradisi ke
islaman terdapat informasi silang yang amat besar, termasuk dasar agama
Kristen; seseorang dapat menyerap seluruh antisejarah Islam dari mereka jika ia
menghendaki." Patricia Crone memberi pembelaan tujuan-tujuan pemikiran seperti
ini. "Al-Qur'an tak ubahnya sebagai satc kitab suci dengan satu sejarah seperti
agama lain-hanya saja kita tidak memahami sejarah ini dan cenderung ingin
membangkitkan teriakan protes saat kita mengkajinya.' 9
Kalangan orang
Arab selalu
beranggapan bahwa Al-Qur'an sebagai kitab yang memiliki keunikan lagi indah
sampai para penyembah berhala di kota Mekah merasa haru melihat susunan
liriknya dan mereka tidak mampu menciptakan seperti itu.10 Mutu
seperti ini tidak dapat menghalangi orangorang seperti Puin melempar penghinaan
seperti itu.
"Al-Qur'an menyatakan bahwa ini adalah
'mubeen', atau 'jelas'," katanya. "Tetapi jika Anda perhatikan, Anda akan catat
bahwa tiap lima
kalimat atau yang sederhana saja tidak dapat dimengerti. Tentunya orangorang
Islam dan juga sebagian orientalis berkata lain, tetapi fakta menunjukkan bahwa
seperlima Al-Qur'an tidak dapat dipahami."11
G.R. Puin mengumbar ucapannya tanpa
memberi contoh dan saya telah kehabisan langkah dalam melacaknya di mana letak
seperlima Al-Qur' an
yang tidak dapat dimengerti. Lebih lanjut ia menyebut bahwa kesediaan menerima
pemahaman seperti itu bermula secara sungguh-sungguh pada abad kedua puluh.12 la merujuk pada tulisan Patricia Crone dengan
mengutip pendapat R.S. Humphreys,13 yang kemudian
diakhiri dengan pendapat Wansbrough. Serangan utama dari tulisan Wansbrough
ingin menciptakan pendapat tentang dua masalah penting. Pertama, Al-Qur'an dan
hadith disebabkan oleh berbagai pengaruh komunitas lebih dari dua abad. Kedua,
doktrin ajaran Islam mengikuti cara pemimpin agama Yahudi. Tampaknya Puin sedang
membaca kembali karyanya di saat sekarang, karena teorinya berkembang begitu
lambat dalam kalangan terbatas di mana "umat Islam melihatnya sebagai sikap
penyerangan yang menyakitkan."14 Para pembaca tentu mengenal
siapa Cook, Crone dan Wansbrough sejak seperempat abad, wajah baru muncul dari
kalangan ini adalah
Dr. Puin, yang
penemuannya dijadikan rujukan utama dalam karya Lester yang begitu panjang.
Beberapa naskah Al-Qur'an di atas kertas kulit dari Yaman merujuk pada dua abad
pertama Islam.
Terungkap sedikit namun mampu
membangkitkan minat melakukan penyimpangan terhadap standar naskah Al-Qur'an.
Penyelewengan seperti ini, kendati tidak mengherankan para ahli sejarah naskah
Al-Qur'an, pada hakikatnya sangat mengganggu perasaan dan kepercayaan di
kalangan Muslim
orthodoks yang mempunyai anggapan bahwa Al-Qur'an yang sampai ketangan kita,
hingga hari ini, masih dalam bentuknya yang sempurna, tanpa batas waktu, dan
kata-kata Tuhan yang tidak pernah berubah. Pada dasarnya upaya kaum sekuler
dalam upaya penafsiran ulang terhadap Al-Qur'an-sebagian berdasarkan
fakta akan adanya kulit kertas naskah yang ada di Yaman15
sebagai gangguan dan serangan terhadap kalangan Islam sebagaimana rencana
pengadaan reinterpretasi Kitab Injil dan kehidupan Jesus yang akan mengganggu
dan merupakan penyerangan terhadap kalangan Kristen konservatif. Upaya
reinterpretasi sekuler seperti itu, sangat kuat dan-sebagaimana demonstrasi
sejarah renaissance dan reformasiakan mengarah terhadap lahirnya
perubahan sosia] secara mendasar. Al-Qur’an, bagaimana pun, di saat sekarang
merupakan naskah yang paling berpengaruh dari segi pemikiran ideologi.16
Seluruh permasalahan
yang ada di hadapan
kita adalah seperti berikut:
-
Kitab suci Al-Qur' an dianggap sebagai naskah yang paling berpengaruh secara ideologi.
-
Kalangan umat Islam melihat Al-Qur'an sebagaimana orang-orang Kristen memandang Kitab Injil kalamullah yang tidak pernah berubah.
Fragmentasi naskah Al-Qur'an yang terdapat di Yaman dapat membantu upaya-upaya kalangan sekuler dalam mengadakan reinterpretasi AlQur' an. -
Kendati merupakan sikap ofensif terhadap sejumlah besar umat Islam, reinterpretasi ini dapat menjadi impetus 'dorongan' perubahan sosial secara mendasar seperti yang dialami oleh agama Kristen beberapa abad yang silam.
-
Perubahan-perubahan ini dapat dilakukan dengan menunjukkan bahwa Al-Qur'an pada dasarnya sebagai naskah cair (fluid text) di mana saat masyarakat Islam memberi kontribusi dan secara bebas menata kembali apa yang telah disusun beberapa abad sebelumnya, dapat memberi isyarat bahwa Qur'an tidak lagi suci, dan bahkan telah sesat.
Sebagian besar rujukan
yang digunakan T.
Lester dan nama-nama yang dikutip kebanyakan dari kalangan ini: Gerd R. Joseph
Puin, Bothmer, Rippin, R. Stephen Humphreys, Gunter Lulling, Yehuda D. Nevo,
Patricia Crone, Michael Cook, James Bellamy, William Muir, Lambton, Tolstove,
Morozov dan Wansbrough. la juga berupaya meyakinkan munculnya
cuaca segar di mana dunia Islam mulai menunjukkan langkah positif terhadap
gerakan revisionism. Dalam kategori ini ia menyebut nama-nama seperti Nasr AN
Zaid, Taha Husain, 'All Dushti, Muhammad 'Abdu, Ahmad Amin, Fazlur Rahman, dan
akhirnya Muhammad Arkoun dan pesannya yang begitu gencar dalam memerangi pikiran
konservatif.l7 Sedang aliran pemikiran dari kalangan ilmuwan tradisional semua
dicampakkan, kecuali nama Muhammad 'Abdu yang kontroversial dimasukkan ke dalam
daftar.
Akan tetapi, apakah sebenarnya aliran
revisionisme itu? Di sini, T. Lester gagal memberi definisi terperinci, maka di sini izinkanlah saya
memberi peluang Yehuda Nevo, salah satu sumber utama yang ia kutip membantu
mendefinisikannya:
Pendekatan kaum "revisionis" sama sekali
bersifat monolitik ... (akan tetapi mereka) bersatu dalam menolak validitas
sejarah pada sejumlah masalah semata-mata berdasarkan fakta-fakta
yang diserap dari
sumber literatur Muslim. Informasi yang mereka peroleh hendaknya diperkuat
dengan data-data kasar yang masih ada... Sumber-sumber tertulis harus diteliti
dan dihadapkan dengan bukti dari luar dan jika terdapat silang di antara
keduanya, yang kedua harus diberi prioritas lebih.18
Karena bukti dari luar sangat diperlukan
dalam memberi pengesahan pendapat setiap Muslim, maka tidak adanya bukti kuat
akan membantu penolakan anggapan dan memberi pernyataan secara tidak langsung
tentang permasalahan yang tidak pernah terjadi.
Karena tidak adanya
bukti yang
dikehendaki di luar pendapat tradisional, maka akan jadi bukti positif dalam
memperkuat hipotesis terhadap sesuatu yang tidak pernah terjadi. Contoh nyata adalah
kurangnya bukti di luar literatur Muslim, di mana berdasarkan fakta yang ada
semua orang Arab sudah memeluk agama Islam saat terjadi penaklukan
kota Mekah.19
Hasil pendekatan revisionis tidak
lain ingin menghapus
sejarah Islam secara menyeluruh dan pemalsuan terhadap yang lain di mana
peristiwa seperti munculnya berhala di kota Mekah sebelum Islam, permukiman Yahudi di Madinah, dan
kemenangan umat Islam terhadap Byzantin atau imperium Byzantin di Syria semuanya
ditolak. Pada dasarnya, gerakan revisionisme memandang bahwa berhala yang ada di
Mekah sebelum Islam semata-mata penjelmaan khayal dari budaya keberhalaan yang
berkembang di sebelah selatan Palestina.20
Masalah sentral
yang perlu mendapat
penjelasan di sini adalah adanya tujuan pasti di balik penemuan yang ada. Hal
tersebut bukan muncul secara vacum atau terjadi dengan tanpa rencana di atas
pangkuan para Ilmuwan. Mereka merupakan gagasan dari sebuah ideologi dan arena
politik yang dibuat secara terselubung di balik kemajuan penelitian
akademik.21
Berbagai upaya pengaburan ajaran
Islam dan Kitab
Sucinya bermula sejak lahirnya agama tersebut, kendati strategi di balik itu
mengalami perubahan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Sejak agama Islam
lahir hingga abad ke tiga betas hijriah atau abad ke tujuh dan ke delapan hingga
abad ke tiga betas setelah hijriah (dari abad ketujuh hingga delapan betas
masehi), tujuan utamanya adalah bagaimana memberi proteksi kuat agama Kristen
dalam menghadapi arus kemajuan agama ini di Irak, Suriah, Palestina,
Mesir, Libya dll. Salah satu contoh nyata dari
masa ini adalah Yohannes dari Damascus (35133 hijriah./675-750 Masehi), Peter
The Venerable (1084-1156 Masehi), Robert of Ketton (1084-1156 Masehi), Raymond
Lull (1235-1316 Masehi), Martin Luther (1483-1546 Masehi), Ludovico Marraci
(1612-1700 Masehi). Mereka memperalat pena dengan cara yang tidak sederhana
menghendaki sikap ketololan dan pemalsuan. Dipicu oleh semangat perubahan
politik yang menguntungkan dan dimulainya penjajahan sejak abad kedelapan betas
hingga seterusnya, tahap kedua penyerangan terhadap agama Islam menunjukkan
perubahan sikap setelah melihat banyak orang masuk Islam atau sekurangkurangnya
munculnya rasa bangga dan penentangan yang lahir dari kepercayaan mereka
terhadap Allah.
Abraham Geiger (1810-1874) termasuk pada
masa kedua. Disertasinya berjudul What hat Mohammaed aus den Judettum
aufgenommen? ('Apa yang diambil oleh Muhammad dari agama Yahudi?') merupakan
upaya menguak pencarian pengaruh tersembunyi terhadap Al-Qur'an yang menyebabkan
lahirnya buku-buku dan artikel yang tak terhingga jumlahnya dengan tujuan hendak
memberi anggapan seperti halnya Kitab Injil yang palsu dan penuh
kesalahan.
Bab-Bab berikut akan menampilkan
nama-nama lain yang
jadi pelopor periode ke dua, seperti Noldeke (1836-1930), Goldziher (1850-1921),
Hurgonje (1857-1936), Bergstrasser (1886-19330, Tisdall (1859-19280, Jeffery
(d.1952) dan Schact (1902-1969). Kelompok ketiga bermula dari pertengahan abad
ke-20 sejak berdirinya negara Israel, secara aktif berupaya melenyapkan
ayat-ayat Al-Qur'an yang mengutuk kebiadaban perilaku kaum Yahudi. Di antara
pengikut aliran ini adalah Rippin, Crone, Power, Calder dan, tidak ketinggalan
juga Wansbrough. Teori mereka menyebut bahwa Al-Qur'an dan hadith merupakan
produksi masyarakat yang selama dua abad secara fiktif dinisbahkan pada seorang
Nabi Arab berdasarkan prototype yang dilakukan oleh orang Yahudi yang
tentunya merupakan pendekatan paling keji dalam menepis AI-Qur' an dari
statusnya yang suci.
Beberapa
dasawarsa-dasawarsa yang silam mulai menyaksikan pendewasaan kedua kelompok terakhir dengan
agak cepat dalam menggunakan cara-cara yang agak fair dalam menyerang Al-Qur'an
yang dikemas melalui kontekstualisasi budaya, di mana dianggap sebagai basil
dari masa tertentu yang sudah usang dari sebuah kitab yang berlaku bagi semua
ruang dan waktu.
Islam tradisional tidak begitu gamang
jika disebut bahwa wahyu merefleksikan milieu saat ia diturunkan... Akan
tetapi Islam tradisional tidak pernah membuat lompatan dari suatu pemikiran
bahwa kitab yang berkaitan dengan masyarakat di mana ia diwahyukan pada sebuah
gejala yang merupakan produk masyarakat itu sendiri. Bagi sebagian besar
umat Islam di dunia modern, gerakan penting apa pun dari sebuah aliran pemikiran
tak mungkin jadi pilihan dalam waktu dekat.22
Pendapat itulah yang menyulut inspirasi Nasir Abu Zaid
(seorang yang telah dinyatakan murtad oleh pengadilan tinggi Mesir yang
menurut Cook, sebagai "Muslim sekuler"23), di mana
keyakinan utama tentang Al-Qur'an sebagai berikut,
Jika teks Al-Qur'an adalah risalah yang ditujukan
kepada orang Arab pada abad ke tujuh, maka tentu dibuat formulasi dengan suatu
cara yang secara spesifik berdasarkan sejarah sesuai dengan bahasa dan kultur
yang ada. Jika demikian halnya, maka, Al-Qur'an dibentuk sesuai dengan susunan
kemanusiaan (a human setting). la merupakan produk kebudayaan',
suatu ungkapan yang sering dipakai Abu Zayd, yang dinyatakan di depan
Mahkamah kasasi yang menempatkan ia sebagai orang kaflr.24
Pendekatan Al-Qur'an melalui pendapat tekstual
tampak cukup lunak bagi yang merasa belum kenal; Bagaimana mungkin bahaya dari
konsep pemikiran sebagai pendekatan secara 'semantik' dan linguistik tekstual
terhadap Al-Qur'an? Perhatian utama bukanlah kajian terhadap teks itu sendiri
dan perkembangan evo]usinya, melainkan bagaimana bentuk struktur
AlQur'an diambil dari literature bahasa Arab di abad ke-7/ke-8.25
Berbicara tentang ilmuwan Kitab Injil
seperti Van Buren,
Professor E.L. Mascall menjelaskan, "(ia) menemukan dasar-dasar petunjuk tentang
sekularisasi Kristen dalam aliran filsafat yang biasanya dikenal dengan
analisis dari segi bahasa."26 Jika hal yang demikian
dimaksudkan pada analisis bahasa kajian Kitab Injil, apakah motif lain dalam
mengaplikasikan pendekatan ini terhadap kajian Al-Qur'an?
Hal ini di luar bidang dari apa
yang dapat diterima
oleh kalangan umat Islam, strategi lain adalah keinginan mengubah naskah suci
Al-Qur'an melalui terjemahan bahasa sehari-hari yang kemudian mengangkatnya
sederajat dengan bahasa Arab asli. Dengan cara demikian masyarakat Muslim, di
mana tiga perempatnya bukan Arab, akan dapat mengalami keterputusan dari
wahyu Allah yang sebenarnya.
Adalah sangat tidak tepat antara bahasa
Arab Al-Qur'an dan
bahasa setempat pada tingkat pendidikan dasar. Ketegangan semakin runyam
setelah melihat fakta bahwa gerakan modernitas bermaksud menguatkan
perhatian dalam mencerdaskan kitab suci di kalangan sebagian besar orang-orang
yang beriman. Seperti dikatakan oleh tokoh nasionalis Turki, Ziya Gokalp
(w.1924), "Suatu negeri di mana di sekolah-sekolah mengajar Al-Qur'an pada setiap orang dalam bahasa
Turki merupakan fakta bahwa tiap orang tua dan muda dapat mengenal perintah
Tuhan."27
Setelah menjelaskan
usaha sia-sia yang
dilakukan oleh Turki dalam mengubah Al-Qur' an dengan bahasa mereka, Michael
Cook menyimpulkan,
Kini dunia Muslim non-Arab menunjukkan sedikit
tanda-tanda ingin mengikuti pemikiran bahasa kitab sehari-hari menurut cara yang
terjadi pada abad ke enam belas yang dilakukan oleh orang-orang Protestan atau
pada abad kedua puluh seperti yang dilakukan oleh orang-orang Katolik.28
Jika semua upaya
penipuan dalam keadaan serbamentok, jalan terakhir seperti ditegaskan oleh
Cook:
Di kalangan masyarakat Barat
modern, terdapat
aksiomatik di mana kepercayaan agama orang lain (kendati, tentu saja, tidak
semua orang termotivasi oleh perilaku keagamaan) harus diberi sikap toleransi
dan bahkan dihormati. Tentunya akan dianggap sebagai langkah keliru dan picik
untuk menyatakan pendapat keagamaan orang lain sebagai hal yang salah dan agama
sendiri adalah benar... Anggapan akan kebenaran mutlak dalam
masalah keagamaan sudah ketinggalan zaman dan tak mungkin dapat
diharap lagi. Namun demikian, hal ini merupakan gejala yang mengemuka di
kalangan Islam tradisi seperti dialami oleh kalangan Kristen tradisi, hanya saja
di abad-abad terakhir terasa lebih dominan di kalangan Islam.29
Cook mengemukakan pendapatnya dalam
tulisan yang berjudul "Sikap toleransi terhadap kepercayaan - orang lain",
kendati yang dipaparkan menyentuh masalah universalisme. Dalam melihat sikap
toleransi, Islam mempertahankan kejelasan ajarannya dalam mengatur hak-hak
non-Muslim dan merupakan hal yang sangat terkenal. Serangan Cook tidak lain
ingin menumbuhkan sikap keragu-raguan dan relativisme: suatu gejala penyamaan
semua agama karena berpikir sebaliknya berarti mengkhianati diri sendiri sebagai
sikap berpikir bodoh dan provincialisme'kampungan'. Sebenarnya, ini
sistem perangkap
yang lebih mudah
bagi kalangan kontemporer Muslim yang tak terdidik secara balk. Sebagai akibat
dari pikiran ini, "Terdapat kesepakatan dalam menolak segala bentuk rencana
pembedaan antara non-Muslim, ilmu pengetahuan, dan kesarjanaan Muslim di masa
sekarang mengenai sistem kajian Al-Qur'an."30
Sekarang muncul metode baru di kalangan
ilmuwan Barat dalam menyerang tradisi buku-buku tafsir31
menuntut pembaruan segalanya. Dengan alasan hak tersendiri dalam menafsirkan
kitab suci, kebanyakan orientalis menepis pendapat ulama Islam terdahulu dengan "alasan
bahwa-karena tertipu oleh suatu anggapan bahwa Al-Qur'an sebagai kitab
suci-mereka sudah barang tentu tidak dapat memahami isi teks yang ada dengan
baik seperti para sarjana Barat memahaminya secara liberal.32 Basetti-Sani dan Youakim Moubarac keduanya
ngototbahwa tafsiran AI-Qur'an mesti dibuat sejalan dengan ukuran kebenaran
agama Kristen, suatu pernyataan yang mendapat acungan jempol dari W.C, Smith and
Kenneth Cragg.33 Sebagai seorang pemimpin Gereja Anglican,
Cragg menekankan agar umat Islam menghapus semua ayat yang diturtmkan di Madinah
(dengan penekanan di bidang politik dan hukum) guna mempertahankan esensi
ayat-ayat Makkiyyah yang secara umum lebih menyentuh masalah keesaan Tuhan
(monotheism) di mana ayat Madaniyyah dianggap meremehkan nilai ketuhanan
dari esensi pernyataan tiada tuhan melainkan Allah .34
Konsep pemikiran ini bermaksud hendak
"menggoyang" orang-orang yang lemah iman dan was-was dengan memperalat senjata
"sikap sinis" kaum orientalis yang selalu menghujat serta menolak kitab asli
yang mereka warisi agar semakin mudah menerima ideologi Barat. Artikel yang
ditulis Toby Lester dapat dianggap sebagai kartu baru menggunakan fragmentasi
Qur'an Yaman sebagai umpan. Pada dasarnya Dr. Puin menolak semua penemuan yang
dinisbatkan T. Lester kepadanya dengan menepis beberapa perbedaan ejaan dan
perkataan. Berikut adalah sebagian dari surat asli Dr. Puin yang ditulis
untuk Qadi Ismail
al-Akwa' beberapa saat setelah muncul tulisan Lesterdengan terjemahannya.35
Gambar 1.1 Sebagian dari surat asli Dr. Puin kepada al-Qadi al-Akwa' |
Hal yang sangat penting, puji syukur pada Allah bahwa
fragmentasi mushaf dari Yaman tidak berbeda dengan yang terdapat di berbagai
museum dan perpustakaan di tempat lain dengan beberapa penjelasan yang tidak
mengena dengan Al-Qur an, kecuali beberapa perbedaan dalam ejaan kata-kata. Hal
ini merupakan suatu yang dikenal di kalangan luas bahwa seperti Qur' an yang
diterbitkan di Cairo:
kata Ibrahim tertulis ( ) menjadi Ibrhm ( )
Qur'an juga ditulis (
) menjadi Qrn ( )
Simahum tertulis( ) menjadi
Simhum ( ) etc.
Lihat teks gambar No. 1.1 hlm. 12.
Dalam fragmentasi Al-Qur'an kuno yang terdapat di Yaman,
tidak dituliskannya huruf alif merupakan gejala umum.
Hal ini dapat
menurunkan nilai perdebatan yang ada serta melenyapkan kekaburan jaringan licik
di sekitar penemuan Dr. Puin membuat sebagai topik bahasan yang tidak perlu
mengundang spekulasi lebih jauh.36 Marilah ambil
perumpamaan sekiranya penemuan itu benar, lantas bagaimana tanggapan kita? Di
sini kita dihadapkan pada tiga permasalahan:
(1). Apakah Al-Qur' an
itu?(2). Jika
seluruh naskah tidak ada atau sebagian ditemukan saat sekarang maupun yang akan
diklaim sebagai Al-Qur'an tapi berbeda dari yang ada di tangan kita, apa
pengaruhnya terhadap teks Al-Qur' an sekarang?
(3). Siapa yang
berhak memegang otoritas Al-Qur'an, dalam hal penulisan tentang agama dan
sejarahnya?
Ini semua akan diperjelas dalam tulisan
ini guna mendobrak bukan saja jawaban-jawaban yang diperlukan melainkan juga logika penentu sikap
mereka:
a). Al-Qur'an adalah kalamullah, risalah terakhir untuk umat manusia, diwahyukan pada Rasul terakhir, Muhammad, yang meruang dan sewaktu. la terpelihara di segi keaslian bahasa tanpa perubahan, tambahan, maupun pengurangan.
a). Al-Qur'an adalah kalamullah, risalah terakhir untuk umat manusia, diwahyukan pada Rasul terakhir, Muhammad, yang meruang dan sewaktu. la terpelihara di segi keaslian bahasa tanpa perubahan, tambahan, maupun pengurangan.
b). Tak akan ada penemuan Qur'an,
baik secara fragmentasi maupun seluruhnya, yang berlainan dari teks yang ada di
seluruh dunia. Jika ada, maka tidak akan dianggap sebagai Al-Qur'an, karena satu
syarat utama penerimaannya mesti sesuai dengan teks yang digunakan dalam mushaf
'Uthmani.37
c). Tentu saja siapa pun tak berhak melarang seseorang menulis tentang Islam, akan tetapi hanya seorang Muslim yang taat memiliki wewenang yang sah melakukan tugas tersebut dan bahasan lain yang ada hubungannya. Mungkin pihak lain menganggap hal ini sebagai prasangka; tetapi siapakah yang tak bersikap demikian? Di luar kalangan Islam tidak dapat mengklaim sikap netral karena tulisan mereka sengaja ingin mengalihkan pikiran orang lain. Apakah ajaran Islam dapat menerima atau tidak tergantung kepercayaan masing-masing dan setiap penafsiran dari pihak Kristen, Yahudi, atheis, atau orang Islam yang tidak mau menjalankan Shari'atnya harus ditolak secara tegas. Saya dapat tambahkan jika tiap pandangan yang disukai bertentangan dengan dasar ajaran Nabi Muhammad saw. balk secara eksplisit mau pun sebaliknya, ia mesti ditolak dan hal ini berlaku bagi tulisan seorang Muslim yang taat sekalipun dapat ditepis sekiranya tidak ada gunanya. Bentuk selektivitas seperti ini berlaku sejak masa keemasan pemerintahan Ibn Sirin (w.110 H./728 M.):
c). Tentu saja siapa pun tak berhak melarang seseorang menulis tentang Islam, akan tetapi hanya seorang Muslim yang taat memiliki wewenang yang sah melakukan tugas tersebut dan bahasan lain yang ada hubungannya. Mungkin pihak lain menganggap hal ini sebagai prasangka; tetapi siapakah yang tak bersikap demikian? Di luar kalangan Islam tidak dapat mengklaim sikap netral karena tulisan mereka sengaja ingin mengalihkan pikiran orang lain. Apakah ajaran Islam dapat menerima atau tidak tergantung kepercayaan masing-masing dan setiap penafsiran dari pihak Kristen, Yahudi, atheis, atau orang Islam yang tidak mau menjalankan Shari'atnya harus ditolak secara tegas. Saya dapat tambahkan jika tiap pandangan yang disukai bertentangan dengan dasar ajaran Nabi Muhammad saw. balk secara eksplisit mau pun sebaliknya, ia mesti ditolak dan hal ini berlaku bagi tulisan seorang Muslim yang taat sekalipun dapat ditepis sekiranya tidak ada gunanya. Bentuk selektivitas seperti ini berlaku sejak masa keemasan pemerintahan Ibn Sirin (w.110 H./728 M.):
Ilmu ini
merupakan agama Anda, maka hendaknya berhati-hati dari mana Anda mengambil
agama.38
Mungkin pihak lain menganggap umat Islam tidak
memiliki alasan kuat dalam merespons metode keilmuan orang lain. Masalahnya,
bagi orang Islam berlandaskan sepenuhnya pada keimanan bukan asal akal-akalan.
Di sini saya perlu mengemukakan pendapat dalam menyikapi penemuan mereka dalam
bab-bab berikut. Awalnya akan saya ceritakan beberapa bagian sejarah Islam
sebagai titik awal memasuki kajian lebih dalam mengenai Al-Qur'an.
1.
Qur'an, 5:8
2. Dikutip oleh M. Broomhall, Islam in China, New Impression, London, 1987, hlm. 2.
3. Seperti penjelasan Lester. Kendati dalam tulisannya memberi ejaan Qur'an dengan Koran, hal ini secara teknis tidak benar dan saya akan menggunakan ejaan secara tepat jika tidak langsung mencatat dari ayat.
4. Lester, hlm. 46.
5. Ibid.., h1m.46-47.
6. London, 18 Februari, 1999.
7. Lester, hlm.44, dengan penambahan cetak miring (italic).
8. Ibid., hlm. 45.Diberi tambahan dalam cetak miring. Perlu kiranya dicatat bahwa semua penilaian konyol telah dilemparkan jauh sebelum seseorang mempelajari secara sungguh-sungguh tentang naskah asli. Hal ini merupakan tipikal keilmuan dan pendekatan para orientalis.
2. Dikutip oleh M. Broomhall, Islam in China, New Impression, London, 1987, hlm. 2.
3. Seperti penjelasan Lester. Kendati dalam tulisannya memberi ejaan Qur'an dengan Koran, hal ini secara teknis tidak benar dan saya akan menggunakan ejaan secara tepat jika tidak langsung mencatat dari ayat.
4. Lester, hlm. 46.
5. Ibid.., h1m.46-47.
6. London, 18 Februari, 1999.
7. Lester, hlm.44, dengan penambahan cetak miring (italic).
8. Ibid., hlm. 45.Diberi tambahan dalam cetak miring. Perlu kiranya dicatat bahwa semua penilaian konyol telah dilemparkan jauh sebelum seseorang mempelajari secara sungguh-sungguh tentang naskah asli. Hal ini merupakan tipikal keilmuan dan pendekatan para orientalis.
15. Sebagai tambahan, dalam penilaian saya the Turk ve
Islam Eseleri Muzesi (Museum Kebudayaan Islam) memiliki koleksi lebih besar dari
yang ada di Yaman. Sayangnya saya tidak diizinkan melihat koleksi ini. Keadaan
ini masih spekulatif kendati menurut F. Deroche, ia menampung lebih kurang
210,000 folios ("The Qur'an of Amagur", Manuscript of the Middle East, Leiden,
1990-91, vo1.5, h1m.59).
16. Lester, hlm. 44, dengan tambahan cetak
miring.
17. Ibid., hlm.56.
18. J. Koren dan Y.D. Nevo, "Methodological Approaches
to Islamic Studies", Der Islam, Band 68, Heft l, 1991, hlm.89-90.
19. Ibid., hlm.92.
20. Ibid., hIm.100-102. Lihat juga buku ini pada
hlm. 376-8.
21. Topik bahasan lebih mendasar dapat dilihat pada bab 19.
21. Topik bahasan lebih mendasar dapat dilihat pada bab 19.
22. Michael Cook, The Koran: AQ Very Short
introduction, Oxford Univ. Press, 2000, hlm.44.
23. Ibid., hlm..46.
24. Ibid., hlm. 46.
23. Ibid., hlm..46.
24. Ibid., hlm. 46.
25. Untuk lebih jelas, harap di lihat Stefan
Wild's (ed.), Preface to The Qur'an as Text, E.J. Brill, Leiden, 1996,
hlm. vii-xi.
26. E.L. Mascall, The Secularization of
Christianity, Darton, Longman & Todd Ltd., London,
1965, hlm. 41. Dr. Paul M. Van Buren adalah penulis
buku "The Secular Meaning of the Gospel", yang ditulis menurut
sistem analisis bahasa Injil (ibid, hlm. 41.)
27.
M. Cook, The Koran: A Very Short Introduction, hlm.26. Yang menarik Ziya
Gokalp merupakan Domna Yahudi yang masuk Islam (M. Qutb, al-Mustashriqun wa
al-Islam, hlm. 198).
28.
M. Cook, The Koran: A Very Short Introduction, h1m.27.
29.
Ibid., h1m.33, dengan penambahan penekanan. Kata-kata Cook berbunyi, "Hal
itu merupakan masalah utama dalam tradisi Islam", yang (mungkin) dianggap tidak
cocok lagi untuk Islam modem.
30.
Stefan Wild (ed.), The Qur'an as Text, p.x. Aslinya tertulis 'was'
instead of 'is', akan tetapi perubahan waktu (tense) rasanya biasa saja seperti
tidak ada suatu perubahan. Sebenarnya, tradisi keilmuan Muslim tentang Al-Qur'an
selalu diletakkan pada posisi kelas dua di kalangan ilmuwan Barat, mengingat
yang pertama tetap berpegang teguh pada tradisi sedang ke dua menghendaki adanya
sistem perubahan atau revionism.
31.
Tafsir Al-Qur'an an.
32. W.C. Smith, "The True Meaning of Scripture",
IJMES, vol. 11 (1980), hlm..498.
33.
Peter Ford, "The Qur'an as Sacred Scripture", Muslim World, vol. xxxiii,
no.2, April 1993, hlm.151-53.
34.
A. Saeed, "Rethinking Revelation as Condition for Interpretation of the
Qur'an: A Qur'anic Perspective", JQS, I-93-114.
35. Guna mengetahui teks bahasa Arab seluruhnya dari
surat yang dikirim, dapat dilihat pada surat kabar harian, ath-Thawra, isu
24.11.1419 A.H./11.3.1999.
36. Tercantum
penemuan Puin dan anggapannya pada hlm. 349-351
37. Bentuk teks yang menunjukkan variasi dalam bentuk tulisan dapat dilihat pada bab ke-9, ke10, dan ke-11. Namun demikian kita memberi pertimbangan bahwa terdapat lebih dari 250,000 manuskrip Al-Qur'an di seluruh dunia (harap dilihat pada hlm. 352.)
37. Bentuk teks yang menunjukkan variasi dalam bentuk tulisan dapat dilihat pada bab ke-9, ke10, dan ke-11. Namun demikian kita memberi pertimbangan bahwa terdapat lebih dari 250,000 manuskrip Al-Qur'an di seluruh dunia (harap dilihat pada hlm. 352.)
38.
Sebenarnya Ibn Hibban merujuk kata-kata ini pada sahabat lain, seperti Abd
Huraira (w.58 hijriah), Ibrahim an-Nakha'i (w.96 hijriah), ad-Dahhak bin Muzahim
(w.circa 100 setelah hijrah), alasan al-Basri (w. 110 hijriah), dan Zaid bin
Aslam (w.136 hijriah). (Ibn Hibban, al-Majruhin, i:21-23).
0 komentar:
Post a Comment