Dalam
pemikiran Hatta, dia membedakan pengertian antara mendidik dan mengajar.
Mendidik adalah sebuah hal yang lebih mengarah kepada pembentukan karakter
seseorang, sedangkan mengajar adalah pembentukan intelegensia. Hatta membedakan
mendidik dengan mengajar. Di dalam pertumbuhan karakter seseorang, yang
dibutuhkan adalah keduanya. Drost memaparkan bahwa sebenarnya
orangtua adalah elemen utama dalam mendidik. Sekolah memang berperan dalam
pendidikan, dan memang sudah seharusnya, namun peran orangtua seringkali
diabaikan dalam pendidikan di Indonesia. Sekolah dianggap bertanggunjawab atas
segalanya Karena itu sekolah dan orangtua harus bekerja sama dalam proses ini.
Menurut
Sudarminta salah satu tantangan pendidikan masa depan adalah bagaimana
mengupayakan pendidikan yang memberntuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup
(life-long learning). Jadi
sebenarnya, pendidikan dan pengajaran harus berjalan selaras tanpa perlu adanya
dikotomi yang membedakan keduanya secara tajam dalam fungsi sekolah.
Dalam
hubungan yang dididik dalam melihat sang pendidik, Freire memberikan dua posisi. Posisi
pertama adalah pendidikan yang menghasilkan rasa takut. Pendidikan seperti ini
akan menghasilkan pola pendidikan sepihak yang mematikan kreativitas sang
murid. Proses pendidikan dikekang sedemikian rupa sehingga yang ada hanyalah
rasa takut dan tertindas. Dari rasa takut kemudian akan timbul resistensi dan
perlawanan. Perlawanan sendiri bisa berhasil dan bisa tidak. Posisi kedua yang
diberikan oleh Freire adalah posisi terpesonanya naradidik terhadap apa yang
disajikan oleh pendidik. Pendidikan seperti ini justru menjadi lebih berbahaya
karena dengan keterpesonaannya, naradidik tidak akan bisa membedakan mana yang
bisa diterima dan mana yang tidak bisa diterima. Pendidik akan memegang kontrol
sepenuhnya dari naradidik.
Dalam
hubungan pendidik dan naradidik di Indonesia, seringkali terdapat trauma-trauma
akibat pola pendidikan seperti di atas. Kekerasan yang digunakan dalam
pendidikan, menimbulkan trauma-trauma dan ketakutan-ketakutan pada diri
naradidik. Akhirnya naradidik belajar karena ketakutan, dan bukan keinginan
yang dipupuk akan sebuah proses pendidikan. Pola pendidikan yang seperti ini
harus dirubah agar perubahan sosial boleh dibawa dalam pendidikan, karena
pendidikan yang demikian mengungkung naradidik.
Politik
Pendidikan dan Perubahan Sosial Terhadap Persepsi Masyarakat Indonesia Terhadap
Kekerasan
Kekerasan
sepertinya sudah menjadi makanan sehari-hari dari bangsa kita ini.
berita-berita mengenai tindak kekerasan yang dilakukan oleh individu ataupun
komunitas menjadi sasaran empuk para nyamuk pers, sehingga pikiran para pembaca
pun menjadi, mau tidak mau, terkontaminasi oleh kekerasan dalam alam bawah
sadar mereka.
Sebuah
proses pendidikan mengenai bagaimana cara kita mengatasi kekerasan, melalui politik
pendidikan yang benar bisa membawa sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih
baik bagi bangsa kita ini. Kekerasan yang selama ini sudah mendarah daging,
mungkin saja akan bisa dirubah oleh sebuah politik pendidikan yang membebaskan.
Di sini, pendidikan memiliki peran penting daam membawa sebuah perubahan
sosial, terutama ketika kita belajar dari Walter Wink mengenai bagaimana
cara-caranya mengatasi kekerasan yang terjadi dalam kehidupan ini.
0 komentar:
Post a Comment