Pendidikan
pasti menghasilkan perubahan. Perubahan tersebut dapat terjadi hanya pada
individu terdidik, tetapi juga dapat terjadi pada aras sosial. Pendidikan
memberikan sumbangan pada perubahan sosial yang terjadi pada individu maupun
masyarakat.
Kita
juga akan melihat lebih lanjut bagaimana sebenarnya pendidikan itu terkait
dengan politik, yaitu politik pendidikan. Politik pendidikan adalah policy
yang ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah untuk menjalankan pendidikan di
negaranya.
Kemudian
yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah benar politik pendidikan
dapat memecahkan problem sosial? Jikalau memang politik pendidikan membawa
sebuah perubahan sosial (terlepas dari diskursus apakah perubahan itu baik atau
buruk), maka perubahan macam apa yang seharusnya dibawa oleh politik pendidikan
tersebut? Mengapa terjadi pembedaan antara pendidikan dan pengajaran?
Selain
menanyakan hal-hal tersebut, kelompok juga mengajukan sebuah usulan pendidikan
yang dapat membawa perubahan sosial ke arah yang lebih baik dalam kehidupan
berbangsa di negara yang sedang kacau ini. Pendidikan yang baru terhadap
paradigma kekerasan, yang notabene terjadi setiap hari di negara kita, mungkin
saja pada aras sosial akan dapat memberikan sebuah sumbangan pemikiran baru
terhadap perubahan sosial negara. Hal-hal ini yang akan dibawa dan dibahas
lebih lanjut oleh kelompok di dalam bacaan kita.
Politik
pendidikan
Pendidikan
selalu sepihak. Pendidikan yang diberikan oleh pendidik selalu berdasarkan
keinginan pola penguasa yang menetapkan kurikulum. Dan karenanya politik
ternyata sangat berkait erat dengan pendidikan. Politik adalah kebijakan. Siapa
yang menguasai politik atau siapa yang menjadi pemimpin, dialah yang kemudian
menentukan arah pendidikan. Hal seperti ini bisa membawa ke dua hal, positif dan
negatif.
Karena
bahaya-bahaya tersebut Ivan Illich menggambarkan bahwa pendidikan formal justru
harus ditolak. Peningkatan ilmu selalu dikaitkan dengan keberhasilan. Imaginasi
murid dilatih untuk menerima jasa bukan nilai.[1] Pelembagaan ternyata akan
mengakibatkan polusi fisik, polarisasi sosial dan impotensi psikologis.
Degradasi nilai ini ternyata semakin dipercepat ketika orang mengganggap
kebutuhan nonmaterial itu sebagai suatu komoditi. Karena itu sistem pendidikan
formal harus ditolak.[2]
Politik
modern telah selalu melupakan perannya sebagai pendidik karena adanya gambaran
“jasa” tersebut. Pendidikan hanya dipandang sebagai sebuah tujuan dan bukan
sebagai proses belajar. Karenanya perubahan sosial yang seharusnya dibawa dalam
pendidikan, dilupakan. Semua tergantung kepada kebijakan penguasa dalam
menentukan kebijakan.
Apabila
ternyata pemerintah yang menetapkan kebijakan pendidikan adalah sebuah
pemerintahan yang baik, yang serius ingin memajukan pendidikan di negaranya,
maka dunia pendidikan di negara tersebut akan maju. Sebaliknya, apabila
pemerintah yang menetapkan kebijakan politik pendidikan adalah pemerintahan
yang kurang perduli terhadap pendidikan, bahkan cenderung ingin menguasai
pendidikan tersebut, maka politik pendidikannya akan menjadi sangat subyektif.
Sebagai sebuah contoh, pelajaran sejarah adalah sebuah pelajaran yang sangat
rentan terhadap manipulasi pendidikan. Sejarah bisa saja ditulis berdasarkan
pemenang sejarah, dan bukan berdasarkan apa yang sebenarnya terjadi.
Secara
negatif, pendidikan bisa dipandang sebagai perpanjangan tangan penguasa untuk
melanggengkan kekuasaannya karena mereka memberikan pendidikan berdasarkan apa
yang mereka suka dan inginkan agar kelanggengan kekuasaan mereka tetap terjaga.
Politik pendidikan yang dibawa oleh pemerintahan yang cenderung memandang
pendidikan sebagai sebuah perpanjangan tangan penguasa akan menjadi sebuah
politik pendidikan yang sepihak, berdasarkan apa yang ingin diberikan oleh
penguasa.
Sebaliknya,
apabila kita memandang politik pendidikan secara positif, di mana pemerintah
yag menetapkan kebijakan-kebijakan tersebut adalah benar-benar serius terhadap
perubahan sosial, maka politik pendidikan yang dibawa akan memberikan sebuah
perubahan sosial yang positif. Masyarakat akan bisa dididik melalui pendidikan
yang ditetapkan oleh politik pendidikan sebuah pemerintahan tertentu.
Pendidikan
yang diberikan juga harus sedemikian rupa sehingga tidak menekankan pada
perbedaan-perbedaan sosial dan kecerdasan. Pendidikan yang negatif cenderung
selalu menguntungkan kaum yang kuat. Padahal semestinya pendidikan itu bersifat
membebaskan.
Perubahan
sosial
Politik
pendidikan yang kita bicarakan di atas ternyata sanggup membawa sebuah
perubahan sosial. Pendidikan pasti membawa perubahan. Ke mana arahnya, itu
mesti kita bicarakan dahulu.
Ketika
sebuah pemerintahan yang memegang politik pendidikan secara positif, di mana
mereka melihat pendidikan sebagai sebuah usaha mencerdaskan dan bukan sebagai
perpanjangan tangan penguasa, maka perubahan sosial yang dibawanya dapat menuju
ke sebuah arah yang lebih baik.
Ketika
Amerika Serikat masih membenahi sistem pendidikannya, problema-problema baru
juga timbul. Ketika pemisahan ras masih sangat kuat, dan pemerintah Amerika
berusaha membaurkan mereka yang berkulit hitam dan yang berkulit putih, maka
yang terjadi adalah anak-anak kulit putih dengan golongan ekonomi menengah
keatas memiliki kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh pendidikan yang
berkualitas dibandingkan mereka (kulit hitam) yang berasal dari golongan sosial
kelas menengah. Problem sosial jarang – kalaupun pernah terjadi – dapat
dipecahkan semata-mata dengan pendidikan.[3]
Boeve
mengatakan bahwa perkembangan dunia saat ini telah dikuasai oleh “master narasi
ekonomi”. Segala sesuatu dihitung berdasarkan keuntungan yang dihasilkannya.
Hal yang sama juga terjadi pada dunia pendidikan. Pada tekhno-sains,
perkembangan ilmu tersebut memiliki tujuan perkembangan ekonomi. Modal-modal
besar yang mendanai setiap penelitian yang dilakukan memiliki sebuah tujuan
keuntungan ekonomi di belakangnya.[4]
Di
Indonesia, banyak orang berpikir bahwa pendidikan telah berubah menjadi sarana
untuk memperoleh keuntugan ekonomi. Pendidikan hanyalah digunakan sebagai batu
loncatan untuk mencari pekerjaan. Pendidikan hanya menjadi sarana. Pendidikan
adalah proses pembentukan secara keseluruhan dan bukan tujuan itu sendiri. Hal
ini menjelaskan maraknya praktek jual-beli gelar saat ini. Kegandrungan orang
akan gelar terjadi karena orang melihat gelar pendidikan hanya sebagai sarana
aktualisasi diri, juga sebagai penambah gengsi seseorang, yang pada akhirnya
juga bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Pendidikan
juga harus menekankan kepada pendidikan karakter, terutama hal moral dan
pembentukan nilai-nilai. Porsi terbesar dari kegagalan dunia pendidikan
terhadap kaum muda dewasa ini diakibatkan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang
hanya menjejalkan informasi hafalan dan tidak menyentuh kepada pembentukan
watak, moralitas, sikap, atau proses berpikir peserta didik.[5]
Pendidikan
yang mebawa nilai-nilai tersebut akan menyadarkan peserta didik bahwa
pendidikan bukanlah jasa, melainkan sebuah proses yang terjadi terus menerus.
Proses pendidikan yang membawa nilai akan memberikan sebuah perubahan sosial
yang membebaskan. Pelajaran ini harus datang dari sang tertindas sendiri dan
orang-orang yang sungguh setiakawan terhadap mereka.[6] Menuju pendidikan yang membebaskan
ini, Freire mengatakan bahwa pertanyaan yang harus ditanyakan aalah mungkinkah
kita melakukan perubahan tersebut.[7]
Pendidikan
juga lebih sering dipakai sebagai sebuah proses penyadaran ketika seseorang
atau sebuah komunitas sudah melakukan hal yang destruktif terhadap kehidupan,
seperti melakukan kekerasan. Melalui pendidikan yang baik, hal ini dapat dengan
perlahan ditransformasi menjadi sebuah hal yang mengajarkan sebuah perubahan
sosial yang tanpa kekerasan. Namun, kembali lagi kepada politik pendidikan
tersebut, siapakah yang sebenarnya menjalankan politik tersebut? Apakah ada
kepentingan yang bermain di dalamnya?
Relasi
mengenai kedua hal ini, politik pendidikan dan perubahan sosial, terutama di
Indonesia, akan dibahas dalam bagian lebih lanjut dari paper ini.
Politik
pendidikan di dalam konteks Indonesia
Berbicara
tentang konteks Indonesia dalam kaitannya dengan pendidikan, biasanya kesan
yang langsung terlintas adalah rendahnya angka pendidikan, buruknya mutu
pendidikan, kurikulum yang tak menentu dan terlalu berat untuk kemampuan nara
didik, nasib para pengajar yang terabaikan, dan kinerja pengajar yang sering
kali sekedarnya.
Dalam
bagian ini kelompok hendak menyajikan keadaan politis dari pendidikan di
Indonesia, bukan hanya kesan semacam di atas, yang umumnya ada di kalangan
masyarakat.
Menurut
Anthony Giddens pendidikan mempunyai hubungan yang sangat kompleks dengan
pemerataan. Seharusnya pendidikan dapat membantu penegakan keadilan, namun
sering pendidikan malah menghasilkan ketidakadilan dan mempertajamnya. Inilah
yang terjadi dalam konteks Indonesia. Memang pendidikan dapat mengurangi
ketidakadilan terutama pada kelompok masyarakat pinggiran, tetapi pada saat
yang sama pendidikan malah melanjutkan ketidakadilan yang telah ada dalam masyarakat.
Jurang perbedaan bukan mengecil namun malah melebar. Di kalangan bawah siapa
yang tidak mendapat pendidikan yang memadai sukar pula mendapat pekerjaan yang
lumayan, dan di kalangan yang lebih tinggi jurang makin melebar di antara
mereka yang menikmati pendidikan tinggi dan yang tidak.
Giddens
mengiyakan bahwa pendidikan tidak dapat mengembangkan keadilan. Namun ia
menambahkan bahwa kita tidak dapat memulangkan masalah ketidakadilan pada
pendidikan saja, seakan hanya pendidikan yang dapat menciptakan keadilan. Untuk
mengurangi ketidakadilan, senjata yang diperlukan bukan hanya pendidikan tetapi
juga keputusan-keputusan politik.[8]
Pendidikan
harus membantu orang untuk menjadi manusia yang berwatak. Mohammad Hatta
membedakan pendidikan dan pengajaran. Pendidikan membentuk karakater,
pengajaran memberikan pengetahuan yang dapat digunakan dengan baik oleh
anak-anak yang mempunyai karakter. Maka bagi Hatta yang utama bukanlah sekolah
menengah umum atau sekolah kejuruan, melainkan pendidikan watak yang bisa
membuat manusia hidup dalam pergaulan sesama yang adil dan sejahtera.[9]
Ketidakadilan
pendidikan di Indonesia semakin dipertajam dengan mahalnya biaya pendidikan.
Bagi orang yang tidak mampu tahun ajaran baru adalah tahun yang penuh
penderitaan karena begitu besar biaya yang harus dikeluarkan untuk anak-anak
mereka. Pendidikan memang memakan biaya, tetapi haruskah biaya itu dibebankan
pada warga negara yang jelas-jelas tidak mampu menanggungnya?
Tujuan
akhir pendidikan adalah pembebasan dan emansipsi masyarakat dari kebodohan,
kemiskinan dan penderitaan mereka. Semua warga negara berhak atas pembebasan
dan emansipasi itu. kesempatan untuk memperoleh pendidikan harus diberikan
kepada semua orang.
Pendidikan
harus mampu mengangkat anak kelas pekerja setara dengan anak kelas menengah,
anak mereka yang menganggur setara dengan anak mereka yang aktif bekerja.
Pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari hal di atas. Pendidikan kita
belum membebaskan dan mengangkat anak-anak didik untuk kelak benar-benar
menjadi warga negara. Karena tidak tersedianya kesempatan yang sama, di
Indonesia banyak anak putus sekolah, akibatnya banyak anak buruh yang tetap menjadi
buruh, anak penganggur yang tetap menjadi penganggur kendati mereka sempat
mendapat pendidikan. Dilihat secara menyeluruh pendidikan kita tidak berhasil
mengemansipasi masyarakat. Pendidikan yang seharusnya membebaskan malah
menindas sebagian warga yang tidak mampu.
Berangkat
dari konteks masyarakat kita di Indonesia, adakah hubungan antara pendidikan
dengan politik? Bagi sebagian besar masyarakat kita pendidikan dan politik
adalah dua hal yang berbeda dan berpisah, dan antara keduanya tidak ada
hubungan. Pandangan masyarakat ini tampak dengan jelas pada sikap para politisi
kita terhadap masalah-masalah ekonomi, politik dan pendidikan. Saat ini yang
menjadi pusat perhatian para politisi kita ialah masalah ekonomi dan politik.
Masalah pendidikan sepertinya dipinggirkan dari dalam alam pikiran para
politisi kita. Pendidikan adalah masalah yang relatif tidak penting. Pendidikan
adalah suatu “non-issue”, suatu hal yang mudah, yang dapat ditangani
oleh siapa saja.[10]
Ada
satu hal yang dilupakan para politisi kita, yaitu bahwa keadaan kehidupan
pendidikan pada waktu sekarang akan mempengaruhi kondisi kehidupan ekonomi dan
politik di masa depan. Jika kita sekarang membiarkan kondisi pendidikan kita
saat ini maka dapat dipastikan bahwa kehidupan ekonomi dan politik kita di masa
depan akan semakin menyedihkan. Para politisi kita tidak menyadari bahwa
pendidikan selalu bersifat antisipatoris dan preparatoris, yaitu selalu mengacu
ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa
depan.
Mochtar
Buchori mengungkapkan ada sebuah fenomenon historis yang memperlihatkan bahwa
antara pendidikan dan politik terdapat suatu hubungan. Di Indonesia pada
periode 1908-1945 ditandai dengan kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang
penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka mengusahakan Indonesia
merdeka. Sebaliknya dalam periode antara 1959 dan 1998, kita saksikan bersama
kehadiran pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak memiliki
idealisme yang cukup nasionalistik dan patriotik, atau kalau memilikinya,
mereka tidak mampu menyatakannya dalam bentuk perilaku politik yang pantas
diteladani. Mengapa timbul kontras yang begitu tajam dari kedua periode itu?
Mengapa perilaku dan budaya politik bangsa ini merosot begitu tajam? Mochtar
Buchori menggunakan tiga generalisasi untuk menjelaskan kontras yang tajam ini.
Pertama, adanya perbedaan dalam mutu pendidikan dasar yang mereka terima
sebelum mereka memasuki kehidupan politik. Kedua, karena pada era
sebelum kemerdekaan, dunia politik dipenuhi oleh para kalangan terdidik,
sedangkan dalam era pasca-kemerdekaan, dunia politik dihuni oleh golongan yang
relatif kurang terdidik tetapi mampu menggalang dukungan dari masyarakat. Ketiga,
adanya perbedaan “semangat zaman”. Dalam periode 1908-1945 “semangat melawan
dan membebaskan” tumbuh dengan baik, sedang dalam periode 1959-1998 semangat
melawan dan membebaskan ini diperlemah secara sistematis, dan akhirnya menjadi
lumpuh sama sekali. Semangat zaman yang ada selama Orde Baru ialah semangat
“mengabdi penguasa”.
Dari
ketiga generalisasi yang diberikan dapat dilihat bahwa pendidikan bukan
satu-satunya faktor yang menjadi sumber dari timbulnya perbedaan yang bersifat
inter-generasional dalam budaya politik. Namun tidak juga menyangkal
tesis mengenai pentingnya peranan pendidikan dalam pembinaan budaya
politik. Untuk dapat berpolitik secara baik, seseorang
harus mempelajari seperangkat kemampuan politik dasar. Tidak ada sekolah yang
dapat mempersiapkan calon pelaku politik secara tuntas, yaitu sampai calon
pelaku politik menguasai kemampuan-kemampuan politis dasar. Dengan demikian
proses pengembangan diri menjadi pemimpin politik atau pelaku politik yang baik
menuntut kemampuan mendidik diri sendiri, kemampuan belajar yang tinggi.
Menjadi pemimpin yang setara dengan para perintis kemerdekaan diperlukan
kemampuan belajar yang tinggi. Makin tinggi kemampuan belajar ini, makin cepat
kedewasaan politik tercapai. Kemampuan ini dari mana datangnya?
Dari
pendidikan umum yang diterima seseorang sebelum memasuki kehidupan politik.
Makin kokoh pendidikan umum yang diterima makin besar seseorang menguasai
kecakapan politik yang mendasar. Pengembangan budaya politik hanya dapat
dilakukan oleh generasi yang memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi.
Pendidikan umum inin mencakup kecakapan-kecakap intelektual yang bersifat umum,
meliputi pengetahuan bahasa, matematika, pengetahuan tentang lingkungan fisik,
pengetahuan tentang lingkungan sosial dan kultural, dan pengetahuan tentang
diri sendiri. Pengetahuan tentang diri sendiri ini adalah yang sangat penting.
Bagaimana pun cerdasnya dan terpelajarnya seseorang, kalau dia tidak mengenali
dirinya dengan baik, maka ia tidak akan dapat menempatkan dirinya secara tepat
dalam lingkungannya.
Masyarakat
sebenarnya mendambakan kehadiran suatu generasi baru dalam kehidupan politik
kita. Suatu generasi yang lebih santun dan lebih bertanggungjawab dalam segenap
tindak-tanduknya. Tanpa intervensi-intervensi dalam pendidikan kita sekarang
rasanya sulit kita mempunyai generasi baru itu. Perlu adanya reformasi
pendidikan. Reformasi yang akan memberikan kepada generasi baru kemampuan
intelektual umum yang cukup, dan yang akan memberikan mereka kemampuan belajar
yang cukup tinggi. Reformasi pendidikan ini harus diarahkan ke pembinaan
kemampuan intelektual yang akan menjadi dasar dari kemampuan generasi muda
untuk mengembangkan budaya politik yang lebih santun daripada budaya politik
yang ada saat ini.
Peningkatan
kemampuan intelektual kepada generasi baru ini tidak mungkin diberikan melalui
kurikulum yang ada di sekolah-sekolah kita saat ini. Harus dilakukan penyusunan
kurikulum yang lebih baik. Selain itu para pengajar juga harus dipersiapkan
dengan baik pula.
0 komentar:
Post a Comment