Meski Nabi Muhammad telah mencurahkan
segala upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam memelihara keutuhan Al-Qur'an,
beliau tidak merangkum semua surah ke dalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan
oleh Zaid bin Thabit dalam pernyataannya,
Di sini kita perlu memperhatikan
penggunaan kata ‘pengumpulan' bukan ‘penulisan'. Dalam komentarnya, al-Khattabi
menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan kelangkaan buku tertentu yang
memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, Kitab Al-Qur'an telah ditulis
seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah
yang ada juga masih belum tersusun."2 Penyusunan Al-Qur'an dalam satu
jilid utama (master volume) boleh jadi merupakan satu tantangan karena
nasikh mansukh yang muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun
kata-kata dalam ayat tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat.
Hilangnya satu format halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang
baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat
sebelum Nabi Muhammad wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad berarti wahyu
berakhir untuk selamanya. Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta
penyusunan ulang. Ini berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat
guna memulai penyatuan Al-Qur'an ke dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang
dirasakan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa
masyarakat mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allah swt. memberi bimbingan para
sahabat dalam memberi pelayanan terhadap AlQur'an sebagaimana mestinya memenuhi
janji pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya,
"Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."3 |
1.
Kompilasi AI-Qur'an Semasa Kekuasaan Abu Bakri. Penugasan Zaid bin Thabit dalam Mengompilasikan
Al-Qur'an
Zaid melaporkan,
Abu Bakr memanggil saya setelah terjadi peristiwa pertempuran
alYamama yang menelan korban para sahabat sebagai shuhada. Kami melihat
saat ‘Umar ibnul Khattab bersamanya. Abu Bakr mulai berkata," ‘Umar baru saja
tiba menyampaikan pendapat ini, ‘Dalam pertempuran al-Yamama telah menelan
korban begitu besar dari para penghafal AlQur'an (qurra'),4 dan kami khawatir hal yang serupa akan terjadi dalam peperangan lain.
Sebagai akibat, kemungkinan sebagian Al-Qur'an akan musnah. Oleh karena itu,
kami berpendapat agar dikeluarkan perintah pengumpulan semua Al-Qur'an." Abu
Bakr menambahkan, "Saya katakan pada 'Umar, 'bagaimana mungkin kami melakukan
satu tindakan yang Nabi Muhammad tidak pernah melakukan?' 'Umar menjawab, ‘Ini
merupakan upaya terpuji terlepas dari segalanya dan ia tidak berhenti menjawab
sikap keberatan kami sehingga Allah memberi kedamaian untuk melaksanakan dan
pada akhirnya kami memiliki pendapat serupa. Zaid! Anda seorang pemuda cerdik
pandai, dan anda sudah terbiasa menulis wahyu pada Nabi Muhammad, dan kami tidak
melihat satu kelemahan pada diri anda. Carilah semua Al-Qur'an agar dapat
dirangkum seluruhnya." Demi Allah, Jika sekiranya mereka minta kami
memindahkan sebuah gunung raksasa, hal itu akan terasa lebih ringan dari apa
yang mereka perintahkan pada saya sekarang. Kami bertanya pada mereka, ‘Kenapa
kalian berpendapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad?' Abu Bakr dan ‘Umar bersikeras mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh
saja dan malah akan membawa kebaikan. Mereka tak henti-henti menenangkan rasa
keberatan yang ada hingga akhirnya Allah menenangkan kami melakukan tugas itu,
seperti Allah menenangkan hati Abu Bakr dan ‘Umar.5
Setelah diberi keyakinan Zaid dapat
menerima tugas berat sebagai pengawas komisi,6 sedang ‘Umar, sahibul fikrah,
bertindak
sebagai pembantu khusus.
ii. Jati Diri Zaid bin Thabit
Sejak usianya di awal dua puluh-tahunan,
di masa itu, Zaid diberi keistimewaan tinggal berjiran dengan Nabi Muhammad dan bertindak sebagai salah
seorang penulis wahyu yang amat cemerlang. Dia salah satu di antara para
huffaz clan karena kehebatan jati diri itulah yang
mengantarnya sebagai pilihan mumtaz
untuk melakukan tugas tersebut.
Abu Bakr as-Siddiq
mencatat kualifikasi dirinya sebagai berikut:
-
Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya.
-
Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakr memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, ‘Kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada anda.'
-
Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran.
-
Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu.7
-
Satu catatan tambahan dari saya (pengarang) tentang kredibilitasnya, Zaid salah seorang yang bernasib mujur di antara beberapa orang sahabat yang sempat mendengar bacaan Al-Qur'an Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadan.8
iii. Instruksi Abn Bakr terhadap Zaid bin Thabit
Izinkan kami sejenak memberi ulasan
singkat tentang satu masalah yang pernah dikemukakan di hadapan Abu Bakr semasa
menjadi khalifah. Sekali waktu seorang nenek menghadap minta penjelasan
tentang hak waris dari seorang cucu yang telah meninggal dunia. Beliau
menjawab bahwa bagian seorang nenek dari cucu tidak disebut dalam Al-Qur'an dan
tidak pula beliau ingat bahwa Nabi Muhammad pernah memberi penjelasan akan hal
itu. Dengan minta konfirmasi para hadirin, Abu Bakr menerima jawaban al-Mughira
yang, saat itu, berdiri mengatakan bahwa beliau hadir saat Nabi Muhammad
mengatakan bahwa bagian seorang nenek adalah satu per enam (1/6). Abu Bakr
bertanya pada yang lain barangkali ada orang yang tak sepaham dengan al-Muhgira
di mana Muhammad bin Maslama menegaskan secara pasti. Guna menyelesaikan tanpa
sikap keragu-raguan, ini berarti Abu Bakr pernah minta pengesahan sebelum
berbuat sesuatu terhadap penjelasan al-Mughira.9 Dalam hal ini Abu Bakr (dan
seterusnya ‘Uthman seperti hendak kita lihat), sematamata mengikuti perintah
Al-Qur'an mengenai kedudukan para saksi
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ... Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika orang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil.... "10
|
Hukum kesaksian memainkan peranan penting dalam kompilasi AIQur'an (juga dalam metode ilmu hadith), dan merupakan bagian penting dari instruksi Abu Bakr pada Zaid bin Thabit. Ibn Hajar melanjutkan,
"Abu Bakr mengatakan pada 'Umardan Zaid, "Duduklah di depan pintu gerbang Masjid Nabawi. Jika ada orang membawa (memberi tahu) anda tentang sepotong ayat dari Kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah."11 |
Ibn Hajar memberi
komentar tentang apa yang dimaksud oleh Abu Bakr perihal
saksi:
Sepertinya apa yang dimaksud dengan dua saksi berkaitan erat dengan
hafalan yang diperkuat dengan bukti tertulis. Atau, dua orang memberi kesaksian
bahwa ayat Qur'an telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad. Atau, berarti agar
mereka memberi kesaksian bahwa ini merupakan salah satu bentuk yang mana Qur'an
diwahyukan. Tujuannya
adalah agar menerima sesuatu yang telah ditulis di hadapan Nabi
Muhammad bukan semata-mata berlandaskan pada hafalan seseorang
saja.12
Saya lebih cenderung menerima pendapat
kedua menyangkut penerimaan materi (ayat Al-Qur'an) berdasarkan bukti sumpah di
hadapan dua orang saksi lain bahwa mereka telah menulis ayat di depan Nabi
Muhammad. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Ibn Hajar yang mana "Zaid tidak
mau menerima sesuatu materi tulisan yang akan dapat dipertimbangan kecuali dua
orang sahabat menyaksikan bahwa orang itu menerima ayat Al-Qur'an seperti
diperdengarkan oleh Nabi Muhammad sendiri."13
Menurut pendapat Profesor Shauqi Daif,
Bilal bin Rabah
jalan-jalan mengelilingi kota Madinah melakukan pengecekan tiap sahabat
yang hadir dan
memiliki ayat-ayat Al-Qur'an yang ia tulis setelah menerima apa yang
diperdengarkan oleh Nabi Muhammad sendiri.14
iv. Cara Zaid bin Thabit Menggunakan Materi tulisan
Al-Qur'an
Cara yang biasa
dipakai dalam menyatukan naskah agar seorang perumus kalimat (editor) mengadakan
perbandingan dengan naskah lain dari hasil kerja yang sama kendati, biasanya
tidak semua naskah memiliki nilai yang setaraf. Dalam memberi penjelasan
terhadap tingkatan naskah yang paling dapat di pertanggungjawabkan dengan
yang tak memiliki
harga nilai, Bergstraser membuat beberapa ketentuan penting sebagai
berikut,
-
Naskah yang lebih awal biasanya lebih dapat terjamin dan tepercaya dari naskah yang muncul kemudian.
-
Naskah yang sudah diubah dan dibetulkan oleh penulis melalui proses perbandingan dengan naskah induk, lebih tinggi tingkatannya dari manuskrip-manuskrip yang tidak ada perubahan.15
-
Jika naskah asli masih ada, naskah lain yang ditulis dari naskah itu akan hilang nilainya.16
Blachere dan Sauvaget kembali menegaskan
tentang poin ketiga: Jika naskah asli masih terdapat di tangan pengarang, atau
salah satu naskah yang telah mengalami perubahan masih ada, maka nilai naskah-naskah lain
akan dinafikan17 Demikian juga, tidak adanya
naskah asli dari seorang pengarang, duplikat lain, dengan adanya naskah induk,
hendaknya dibuang dan tidak dipertimbangkan.
Anggaplah urutan
manuskrip mengikuti skema pohon seperti di atas. Pertimbangkan dua dari sistem
skenario yang
ada:
-
Katakanlah bahwa penulis naskah asli hanya menghasilkan satu edisi buku di mana tidak ada edisi kedua atau perubahan pada edisi pertama. Maka ketiga naskah berikut tidak termasuk: (1). Buku yang ditulis sendiri (seluruh naskah yang ditulis oleh pengarang), (2). Satu manuskrip yangditulis dari naskah pengarang ash misalnya ditulis oleh A); dan (3) manuskrip lain yang muncul kemudian (mungkin ditulis oleh L). Maka sangat jelas bahwa yang kedua dan ketiga dianggap tak ada gunanya clan tidak dapat dipertimbangkan sewaktu mengadakan penyuntingan dari naskah yang ada, karena tak ada di antara mereka yang memiliki tingkatan yang sama dengan naskah asli tulisan tangan dari pengarang pertama.
-
Satu lagi, andaikan ada satu edisi buku. Kemudian naskah tulisan ash bagaimanapun tidak ditemukan, penyunting harus memakai tiga manuskrip lain. Dua manuskrip ditulis oleh murid-murid si pengarang asli, kita sebut saja A dan B. Manuskrip ketiga X dikopi dari B. Maka X di sini tidak ada harganya. Penyunting harus berdasarkan seluruhnya kepada A dan B, dan tidak boleh membuang salah satu darinya karena keduaduanya mempunyai nilai yang sama.
Demikianlah prinsip-prinsip penting
kajian kritis naskah dan edisi penerbitan yang dikembangkan oleh pihak
orientalis di abad kedua puluh. Ternyata empat belas abad yang silam, Zaid telah
melakukan kegiatan persis seperti teori yang mereka buat. Sejak Nabi Muhammad
menapakkan kaki di bumi Madinah, adalah merupakan titik permulaan kegiatan
intensif penulisan. Banyak di antara para sahabat memiliki ayat-ayat Al-Qur'an
yang mereka salin dari kertas kulit milik kawan-kawan serta para jiran. Dengan
membatasi terhadap ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan Nabi Muhammad,
Zaid meyakinkan bahwa semua materi yang beliau teliti memiliki tingkatan yang
sama dan hal yang demikian memberi jaminan mutlak atas ketelitian yang
dicapai. Setelah menghafal Al-Qur'an dan menulis banyak semasa duduk bersatna
Nabi Muhammad, ingatan atau hafalan Zaid hanya dapat dikomparasikan dengan
materi yang sama, bukan dengan naskah kedua atau ketiga.18 Maka arti itu,
sikap keras Abu Bakr, `Umar dan Zaid atas materi dari tangan pertama dengan dua
orang saksi dimaksudkan agar memberi dukungan anggapan clan guna memberi jaminan
ada status yang sama. Di dorong oleh semangat yang meluap dari para pelakunya
proyek tersebut berkembang menjadi upaya sebenarnya yang dilakukan oleh
masyarakat:
-
Kalifah Abu Bakr mengeluarkan undangan umum (atau seseorang dapat dianggap sebagai dekrit) guna memberi peluang pada setiap orang yang mampu untuk ikut berpartisipasi.
-
Proyek tersebut dilakukan di dalam masjid Nabi Muhammad, sebagai .pusat berkumpul.
-
Dalam memberi respons terhadap instruksi seorang khalifah, ‘Umar berdiri di depan pintu gerbang masjid mengumumkan pada setiap orang yang memiliki tulisan ayat Al-Qur'an yang dibacakan oleh Nabi Muhammad agar membawanya ke masjid. Bilal juga mengumumkan hal yang sama ke seluruh lorong jalan jalan di kota Madinah.
v. Zaid bin Thabit Memanfaatkan
Sumber Hafalan
Ini kelihatan jelas bahwa perhatian
ditumpukan kepada ayat yang tertulis, sumber utama tulisan yang ditemukan-baik di atas kertas
kulit, papan-papan kayu, atau daun-daun ( )
dst.-tidak hanya diverifikasi dengan hanya melalui tulisan-tulisan yang lainnya
saja tetapi juga melalui hafalan para sahabat yang belajar langsung dari Nabi
saw. Dengan meletakkan dasar-dasar persyaratan yang begitu ketat dalam
penerimaan baik dari segi tulisan maupun hafalan, maka kesamaan status akan
lebih terjamin.
Dalam keadaan apa pun Zaid bin Thabit selalu merujuk pada
hafalan orang lain: "Al-Qur'an saya kumpulkan dari berbagai bentuk kertas kulit,
potongan tulang, dan dari dada para penghafal." Dalam hal ini az-Zarakhasi
memberi ulasan,
Keterangan ini telah menyebabkan
kalangan tertentu menganggap bahwa tak ada seorang pun yang hafal seluruh Al-Qur'an pada
zaman kehidupan Nabi Muhammad. Melihat anggapan Zaid bin Thabit dan Ubayy bin
Ka'b yang seperti itu, maka anggapan di atas tidak dapat dipertahankan dan, hal
ini merupakan sebuah kekeliruan. Apa yang dimaksud Zaid pada dasarnya ia hanya
mencari ayat-ayat tertulis dari berbagai sumber yang masih tercecer untuk
dicocokkan dengan apa yang telah dihafal - para huffaz. Dengan cara demikian,
tiap orang berpartisipasi dalam proses pengumpulan. Tak ada orang siapa pun yang
memiliki sebagian ayat kemudian tak diikutsertakan. Demikian juga tak seorang
pun memiliki alasan untuk menyatakan sikap prihatin tentang ayat-ayat yang
dikumpulkan dan tak seorang pun melakukan komplain bahwa naskah yang
dikumpulkan hanya dari beberapa pilihan orang tertentu.19
Ibn Hajar memberi
perhatian secara khusus terhadap keterangan yang diberikan Zaid, "Saya dapati dua
ayat terakhir dalam Surah al-Bara'h hafalan ada pada Abu Khuzaima al-Ansari,"
membuktikan bahwa tulisan yang ada pada Zaid serta hafalannya dianggap tidak
mencukupi. Segala sesuatunya memerlukan pengesahan.20 Lebih lanjut
In Hajar
mengatakan,
Abu Bakr tidak memberi wewenang padanya agar menulis kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa kertas kulit. Itu adalah sebab utama Zaid tidak mau memasukkan ayat terakhir dari Sarah alBara’ah sebelum ia sampai dengan membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk tulisan), kendati ia mempunyai banyak sahabat yang dengan mudah untuk dapat mengingat kembali secara tepat dari hafalan mereka. |
vi. Keaslian Al-Qur'an: Masalah Dua Ayat
Terakhir Surah Bara'ah
Kata-kata tawatur ( ) merupakan ungkapan
umum dalam lexicon
Islam. Misalnya, Al-Qur'an telah dialihkan melalui kata mutawatiratau naskah
tertentu dibangun dengan sistem mutawatir. Kata tawatur ditujukan pada
pengumpulan informasi dari berbagi sumber dan perbandingan di mana jika sebagian
besar menyetujui suatu bacaan, maka hal yang demikian memberi keyakinan akan
keaslian bacaan itu sendiri. Selama tidak ada kesepakatan ilmiah tentang jumlah
saluran atau perorangan yang diperlukan dalam mencapai tingkat tawatur, masalah
utamanya adalah bagaimana mendapatkan ketentuan mutlak dan persyaratan untuk
mencapai tujuan ini boleh jadi berbeda menurut ruang, waktu, serta lingkungan
yang ada. Para ilmuwan biasanya tetap
berpegang pada pendapat bahwa sekurang-kurangnya mesti terdapat setengah lusin
sumber riwayat yang
lebih dikehendaki di mana dengan adanya jumlah yang lebih besar kemungkinan
pemalsuan akan semakin mengecil dan lebih rumit.
Kembali pada Sarah al-Bara'ah, di , mana dua
ayat terakhir diberi pengesahan dan dimasukkan ke dalam mushaf, semata-mata
berdasar atas kulit kertas dari Khuzaimah (serta saksi-saksi yang jadi
kemestian), yang diperkuat dengan hafalan Zaid bin Thabit dan beberapa huffaz
lainnya. Akan tetapi dalam hal kualitas sebagai kitab Al-Qur'an, bagaimana kita
dapat menerima satu naskah kulit kertas dan beberapa hafalan para sahabat
sebagai alasan tawatur yang dapat diterima? Anggaplah, jika dalam ruangan kelas
berukuran kecil di depan dua atau tiga mahasiswa seorang guru besar membaca
sebuah sya'ir pendek
dari hafalannya dan setelah itu langsung tiap orang menanyakan beberapa
mahasiswa tentang itu. Jika bacaan mereka sama, maka, kita memiliki kepastian
secara mutlak bahwa hal itu seperti apa yang diajarkan sang guru
besar.
Sama juga halnya dengan ayat-ayat atau
sumber-sumber yang
ditulis dan dihafal, dengan syarat tidak ada kolusi di antara mereka (pemain),
dan ini apa yang saya gambarkan secara empiris dalam kelas tadi. Begitu juga
dengan masalah Surah al-Bara'ah di mana tidak ada perselisihan
tentang sumbersumber yang ada, walaupun ada perselisihan itu relatif sangat
kecil, menjadikan dasar yang cukup memadai untuk kepastian. Dan guna
meng-counter kekhawatiran konspirasi terdapat argumentasi logis: kedua ayat
tersebut tidak memiliki sesuatu yang baru secara teologis, tidak membicarakan
tentang sebuah pemujaan famili tertentu, dan tidak pula memberi informasi
tentang sesuatu yang tak terdapat dalam Al-Qur'an. Adanya konspirasi menciptakan
ayat-ayat seperti itu sangat tidak masuk akal karena tidak ada kepentingan yang
tampak yang mungkin lahir dari upaya pemalsuan.22
Dalam suasana seperti ini di mana Allah swt. secara
pribadi menjamin sikap kejujuran para sahabat terhadap Kitab Suci-Nya, maka kita
dapat menarik kesimpulan akan adanya tawatur yang cukup dalam menentukan
keputusan akhir ayat-ayat tersebut.
vii. Penyimpanan Suhuf dalam Arsip Kenegaraan
Setelah tugas terselesaikan, kompilasi
Al-Qur'an disimpan dalam arsip kenegaraan di bawah pengawasan
Abu Bakr.23 Kontribusinya
seperti yang kita dapat simpulkan adalah penyatuan fragmentasi Al-Qur’an dari
sumber pertama, kemudian ia menjelajah ke seluruh kota Madinah dan menyusunnya untuk
transkripsi penulisan ke dalam satu jilid besar (master volume). Kompilasi ini disebut dengan istilah
suhuf.
la merupakan kata
jamak suhuf ( : secara literal artinya, keping atau
kertas) dan saya percaya ini mempunyai arti yang berbeda dengan kata
tunggal Mushaf yang sekarang menunjukkan sebuah naskah tulisan
Al-Qur'an).
Sebagai kesimpulan,
segala upaya Zaid adalah penyusunan semua surah dan ayat secara tepat, dan
kemungkinan besar sebagai seorang putra Madinah dia menggunakan
script dan ejaan
Madinah yang umum atau konvensional (Tetapi tampaknya ukuran kepingan-kepingan
kertas yang digunakan untuk menulis Al-Qur'an tidak sama sehingga menjadikan tumpukan
kertas itu tidak tersusun rapi. Oleh karena itu, dinamakan Suhuf Hanya
lima belas tahun
kemudian, saat Kalifah ‘Uthman berupaya mengirim naskahnaskah Al-Qur'an ke
pelbagai wilayah kekuasaan umat Islam dari hasil kemenangan militer telah
memperkuat tersedianya kertas kulit bermutu tinggi dan ia mampu memproduksi
kitab Al-Qur'an dalam ukuran kertas yang sama yang kemudian lebih dikenal
sebagai Mushafs.
2. Peranan `Umar dalam Pengenalan Kitab Suci AI-Qur'an
Dengan menunjuk ‘Umar sebagai penerus
khalifah, setelah Abu Bakr wafat di atas tempat tidur, sebelumnya dia telah memberi
kepercayaan terhadap penerusnya tentang mushaf-mushaf yang ada.24
Di samping adanya berbagai kemenangan dalam pertempuran yang menentukan,
‘kekuasaan ‘Umar diwarnai pengembangan Al-Qur'an secara pesat melintasi batas
semenanjung Arab. Beliau mengutus sekurang-kurangnya sepuluh sahabat ke Basra
guna mengajarkan Al-Qur'an,25 demikian pula ia mengutus Ibn
Mas'ud ke Kufa.'26 Ketika
‘Umar diberitahukan tentang adanya orang lain di Kufa yang mendiktekan
Al-Qur'an pada masyarakat melalui hafalan, ‘Umar naik pitam seperti kegilaan.
Saat menemukan orang tersebut yang tidak lain adalah Ibn Mas'ud, beliau ingat
akan kemampuannya, kemudian merasa tenang dan dapat meredam kembali sikap
emosinya.
Berita penting lainnya adalah mengenai
pengenalan ajaran Al-Qur'an di Suriah. Yazid bin Abu Sufyan, penguasa Suriah, mengadukan masalah
pada ‘Umar tentang orang-orang Muslim yang memerlukan pendidikan Al-Qur'an dan
juga keislaman.
la mendesak agar
‘Umar dapat mengutus para dosen, kemudian ‘Umar memilih tiga orang sahabat
melakukan tugas tersebut yang masing-masing terdiri dari Mu'adh, ‘Ubada, dan Abu
Darda. ‘Umar meminta mereka untuk terus menuju Hams yang setelah mencapai
tujuan, salah satu dari mereka agar pergi ke Damaskus dan tempat lain di
Palestina. Saat penduduk setempat merasa puas dengan tugasnya di Hims, Abu
ad-Darda' meneruskan perjalanan ke Damaskus, sedangkan Mu'adh ke Palestina
dengan meninggalkan ‘Ubada di belakang. Mu'adh meninggal dunia setelah itu dan
Abu ad Darda' tinggal di Damaskus beberapa waktu lamanya dan dapat membuat
halaqah yang sangat masyhur dengan mahasiswa asuhannya melebihi
1600 orang.27 Dengan membagi
murid-murid ke dalam sepuluh kelompok, ia menugaskan seorang instruktur secara
terpisah pada tiap kelompok dan melakukan inspeksi keliling dalam memantau
kemajuan mereka. Bagi mereka yang telah lulus tingkat dasar, dapat
mengikuti bimbingan langsung beliau agar murid yang lebih tinggi tingkatnya
merasa lebih terhormat belajar bersama Abu ad-Darda' dan berfungsi sebagai guru
tingkat menengah.28
Metode yang sama dipraktikkan di tempat lain,
Abu Raja' al-Ataradi menyatakan bahwa Abu Musa al-Ash'ari membagikan murid-murid
ke beberapa kelompok di dalam Masjid Basra,29 dalam bimbingannya yang
hampir mencapai 300 orang.30
Di ibu kota, `Umar mengutus Yazid
bin ‘Abdullah bin
Qusait untuk mengajar AI-Qur'an di kalangan orang Badui,31 dan melantik Abu
Sufyan sebagai inspektur untuk suku mereka agar mengetahui sejauh mana mereka
sudah belajar.32 Dia juga menunjuk
tiga sahabat yang lainnya di Madinah untuk mengajar anak-anak dengan setiap
orangnya digaji lima belas dirham per bulan,33 dan setiap murid (termasuk orang
dewasa) dinasihati untuk diajarkan lima ayat yang mudah.34
Setelah ditikam oleh
Abu Lu'lua (seorang
hamba sahaya Kristen dari Persia)35 di akhir tahun 23 hijrah, `Umar
menolak untuk menunjuk seorang khalifah, dan membiarkannya kepada masyarakat
untuk memilihnya dan pada waktu itu Suhuf diamanahkan kepada Hafsa, mantan istri
Nabi Muhammad saw..
3. Kesimpulan
Pengabdian Abu Bakr sendiri terhadap AI-Qur'an
sangat mengagumkan, dia sangat memperhatikan instruksinya tentang dua saksi
untuk membangun otentisitas,36 dan mempraktikkan peraturan ini dalam
kompilasi AI-Qur’an itu sendiri. Walhasil, walaupun ditulis di atas kertas yang
tidak sempurna dan berbeda ukuran, ini telah menunjukkan keikhlasan dalam
usahanya semampu mungkin untuk memelihara Al-Qur'an (kalamullah).
Kemenangan yang berarti melebihi batas padang pasir Arab mendorong kemajuan pendidikan Islam sampai ke
Palestina dan Suriah; Pemerintahan ‘Umar telah mengembangkan sekolah-sekolah
untuk menghafal Al-Qur'an di dua negeri padang pasir kering dan tanah bulan sabit
yang subur dan kaya.
Tetapi perhatian pada zaman khalifah ‘Uthman clan usaha-usaha Zaid bin Thabit
sebagai orang yang memulai mengkompilasikan Al-Qur'an dan tidak berhenti dengan
wafatnya Abu Bakr.
1. Ibn Hajar, Fathul Bari,
ix: 12; Lihat juga al-Bukhari, Sahih, Jami' Al-Qur'an, hadith.4986.
2. As-Suyuti, al-Itqan, i:164. 3. Qur'an 15:9
4. Qurra' (lht. pembaca-pembaca) adalah istilah yang
biasa dipakai untuk para hufiaz, Mereka orang-orang yang hafal Al-Qur'an. Qurra'
dengan ketakwaannya selalu berada dalam barisan paling depan pada waktu perang
dan banyak yang mati dibanding dengan tentara-tentara biasa.
6. Lihat Ibn Abi Dawud
al-Masahif, hlm. 6.
7. Lihat al-Bukhari, Sahih,
Jam'i AI-Qur' an, hadith no. 4986; Ibn Abi Dawud, al-Masahif, hlm. 8.
8. Tahir al-Jaza'iri, at-
Tibyan, hlm. 126; Lihat juga A. Jeffery (ed.), al-Mabani, hlm.
25.
9. Malik, al-Muwatta',
al-Fara'id: 4, hlm. 513.
10. Qur'an 2: 282, Perintah menggantikan dua orang
perempuan untuk satu orang lelaki mungkin dikarenakan perempuan kurang biasa
dengan proses perdagangan secara umum. Lihat Muhammad Asad, Terjemahan AI-Qur'
at, Surah 2, catatan kaki 273.
11. Ibn Abi Dawud,
al-Mashafi, hlm. 6. Lihat juga Ibn Hajar, Farhul Bari, ix:
14.
12. Ibn Hajar, Fathul
Bari, ix: 14-15.
13. Ibn Hajar, Fathul
Bari, ix: 14.Sumber lihat al-Bukhari, Sahih, hadith no. 4986;
14. Shauqi, Daif, Kitab as
Sab'a of/bn Mujahid, Pendahuluan hlm. 6.
15. Bergstasser, Usul
Naqd an-Nusus wa Nashr al-Kutub (in Arabic), Kairo, 1969, hlm. 14.
16. Ibid, hlm.
20.
17. R. Blachcre dan J.
Sauvaget, Regles pour editions et traductions de textes arabes.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh al-Miqdad, hlm. 47.
18. Dalam membuat (penyuntingan) satu teks, secara akademik perbandingan di antara derajat manuskrip
22. Lihat hlm. 323-4 untuk
contoh pemalsuan di mana alur ayat yang mengandung kepentingan
teologi.
23. Al-Bukhari, Sahih,
Fada'il AI-Qui an 3; Abu `Ubaid, Fa,da'il, hlm. 281; at-Tirmidhi,
Sunan, had7th no. 3102.
24. Abu ‘Ubaid, Fada'il,
h1m.281.
27. Adh-Dhahabi, Seyar
al-A'lam an-Nubala, ii:344-46
28. Ibid,
ii:346.
29. Al-Baladhuri,
Ansab al-Ashraf, I:110; Ibn Durais, Fada'il, hlm. 36; al-Hakim,
al-Mustadrak,
ii: 220
30. Al_Faryabi,
Fada'il, AI-Qur'an, hlm. 129
|
0 komentar:
Post a Comment