MENU BLOG

Wednesday, 1 October 2014

PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MENURUT AL-GHAZALI

Profesi pendidik (pengajar) menurut Al-Ghazali
a.       Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah
Dalam kitab “Ihya ‘Ulumuddin” ia mengatakan :
“ apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu . maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu[1]
Jadi, mengajar dan mendidikadalah sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang lain. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan.
Jika seorang pendidik dan anak didiknya mampu saling menghormati dan saling menghargai diantara mereka maka maka ilmu yang diberikan pendidik akan mudah merasuk kedalam otak anak didiknya. Dan nantinya anak didik akan menjadi manusia yang terhormat dan sekaligus dihormati. Disinilah letak kemuliaan seorang pengajar yang diungkapkan oleh al-Ghazali.

b.      Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum
Al-Ghazali dalam “Mizanul ‘Amal” mengatakan :
1)      mencari faedah dan guna ilmu,
2)      mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya-tanya,
3)      memberikan wawasan ilmu dan pengajarannya, dan inilah keadaan yang termulia baginya.
Dengan demikian pendapat al-Ghazali , sesuai dengan pandangan para sarjana pendidikan di Indonesia, antara lain Dr. Sutari Imam Barnadib mengatakan :
      “Mendidik adalah suatu tugas yang luhur. Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pendidik harus mempunyai kesenangan bekerja sama dengan orang lain atau untuk dengan kata lain harus mempunyai sifat-sifat social yang besar.
Drs. Ali Saifuddin H.A mengatakan :
“Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang paling mulia, sesuai dengan filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai sikap pengabdian, yaitu memberikan pelayanan pada masyarakat dan kemanusiaan.”(TIM Dosen IKIP Malang, 1981, 40)
c.       Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan
Al-Ghazali menyebutkan :
“Seorang guru adalah berurusan langsung denga hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia dimuka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar)tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan adalah guru bekerja menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT”
  Jadi kesimpulannya, seorang guru adalah orang yang menempati status yang mulia di dartan bumi, ia meniddik jiwa, hati, akal dan roh manusia. Sedangkan jiwa manusia adalah unsure yang paling mulia pada bagian tubuh manusia dan manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk lainnya. Analisis yang deduktif dan induktif yang dikemkakan al-Ghazali tersebut adalah sangat benar dan tepat sekali, karena ia juga mendalami filsafat dan menguasai logika secara cermat dan akurat


Teknik mengajar dan adab sopan santun seorang guru
Al-Ghazali adalah sangat menyetujui tentang pentingnya aspek keagamaan dalam pendidikan, tapi tidak mengabaikan aspek amaliah meskipun belau tidak terlalu memusatkan perhatiannyapada aspek ini. Ia mengkehendaki agar pendidikan dilandasi dengan agama dan akhlak. Itulah sebabnya beliau memandang bahwa tekhnik mengajar merupakan pekerjaan yang paling utama yang harus diikuti setiap orang. Pandangandemikian didasarkan atas dalil naqli dan ‘aqli


Sifat-sifat yang harus dmiliki seorang guru
Al-Ghazali menguraikan sejumlah sifat-sifat guru yang mencerminkan tugas yang harus dilaksanakan oleh mereka yaitu mendidik akal dan pikiran, jiwa dan roh, yaitu :
a.       Hendaknya guru mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri, dengan ucapan : “Orang tua adalah menjadi sebab wujudnya kehadiran anaknya dan kehidupan itu adalah bersifat fana, dan guru menjadi sebab kehidupan yang abadi.”
Pengarahan kasih sayang kepada murid mengandung makna dan tujuan perbaikan hubungan pergaulan dengan anak-anak didiknya, dan mendorong mereka untuk mencintai pelajaran, guru, dan sekolah dengan tanpa berlaku kasar terhadap mereka. Dengan dasar ini maka hubungan pergaulan antara guru dan murid menjadi baik dan intim yang didasari atas rasa kasih sayang dan cinta serta kehalusan budi.
b.      Guru jangan mencari bayaran dari pekerjaan mengajarkan demi mengikuti jejak Rasulullah s.a.w dengan alasan bahwa pekerjaan mengajar itu lebih tinggi harganya dari pada harta benda, cukuplah kiranya guru mendapatkan kebaikan (fathilah) dan pengakuan tentang kemampuannya menunjukkan orang kepada jalan kebenaran dan hak, kebaikan dan ilmu pengetahuan, dan yang lebih utama lagi ialah guru dengan menunjukkan jalan yang hak kepada orang lain.
Sebenarnya al-Ghazali meyakini prinsip kewajiban mengajar untuk orang yang berilmu pengetahuan yang mampu, semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga pahalanya besar sekali.
c.       Guru hendaknya menasehati muridnya agar jangan mencari ilmu untuk kemegahan atau mencari penghidupan, akan tetapi menuntut ilmu demi untuk ilmu dan hal ini merupakan dorongan ideal yang perlu diikuti[4].
Sebenarnya al-Ghazali mengarahkan ilmu ketingkat yang tinggi untuk dipelajari karena ilmu dapat mengembangkan ilmu lainnya dan dapat diperdalam pembahasannya. 
d.      Guru wajib memberi nasihat murud-muridnya agar menuntut ilmu yang bermanfaat tersebut (menurut beliau) ialah ilmu yang dapat membawa kepada kebahagiaan hidup akhirat, yaitu ilmu agama.
e.       Seorang guru idola (taladan) yang baik dan contoh yang utama yang harus ditiru oleh anak-anak (mereka menyerap kebiasaan yang baik yang dikembangkan oleh seorang guru idola). Mereka senang mencontoh sifat-sifat dan meniru segala tindak-tanduk guru yang diidolakan. Oleh sebab itu seorang guru wajib berjiwa lembut yang penuh dengan tasammuh (lapang dada) penuh keutamaan, dan terpuji. Sebaiknya guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak ia ajarkan, misalnya mengajar ilmu fiqih dengan mengacaukan dengan pengajaran lughah (bahasa), atau sebaliknya mengajarkan lughah dicampur-baurkan dengan fiqih. Jika hal itu dikerjakan , maka ia berbuat tercela, tidak sesuai dengan tugasnya yang terhormat.
f.       Memperhatikan bakat-kemampuan murid tingkat perkembangan akal dan pertumbuhan jasmaniahnya.
Al-Ghazali menganjurkan agar supaya guru memperhatikan tahap-tahap peningkatan kemampuan anak dalam mempelajari ilmu dari satu jenjang ke jenjang lain yang lebih tinggi.
g.      harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak (murid).
Pandangan al-Ghazali, agar guru memahami tentang prinsip-prinsip tentang perbedaan individual di kalangan anak didik serta tahapan perkembangan akal pikirannya, sehingga dengan pemahaman itu, guru dapat mengerjakan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuan mereka, serta senantiasa sejalan dengan tingkat kemampuan berpikir tiap anak didiknya. Dengan mengenal perbedaan-perbedaan individual maka guru dapat membantu memperbaiki pandangan pendidikan dan pengajaran keterampilan.
h.      guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya, agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya.
Al-Ghazali menegaskan kepada kita bahwa berpegang pada prinsip-prinsip dan berusaha merealisasikan prinsip tersebut merupakan watak seorang guru yang diidolakan (teladan), karena ucapan-ucapan yang sesuai dengan prilakunya. Jika ia berpaling dari prinsip, dan tidak sesuai antara ucapan dengan perbuatan maka menjadi sasaran penghinaan atau menjadi sumber kerendahan, yang menyebabkan ia tidak mampu memimpin mereka dan menjadi lemahnya daya bimbingan dan pandangannya.
Al-Ghazali menghendaki agar guru menjadi contoh teladan yang baik bagi murid-muridnya. Jika kita amati kenyataan masa kini bahwa sistem pendidikan tidak akan mengalami kerusakan disekolah-sekolah kita, kecuali jika para guru tidak melakukan apa yang mereka katakan, sehingga murid-muridnya tidak mendapatkan seseorang guru pun di antara mereka tokoh teladan dan ikutan baik yang diteladani sebagai idola mereka. Dalam kaitan ini firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat yang tegas menyatakan sebagai berikut :

“Apakah kamu memerintah manusia dngan perbuatan baik sedang kamu lupa terhadap dirimu sendiri.” (Al-Baqarah, 44).

Disamping itu mereka melupakan arti syair yang mengatakan :
      “Janganlah engkau melarang orang lain berbuat akhlak jelek sedangkan kamu sendiri melakukannya.”
i.        Mempelajari hidup psikologis murid-muridnya.
Al-Ghazali menasehati guru agar mempelajari kehidupan psikologis murid-muridnya, agar keragu-raguan antara guru dan murid-murid lenyap, dan mereka dapat bergaul akrab, serta menghilangkan gangguan-gangguan yang menghalangi hubungan mereka dengan murid-muridnya


Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya : “Ihya “Ulumuddin” dan “Mizan Al Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Dapat diuraikan sebagai berikut :  
a.                                           mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya
“ Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya ‘alim (berilmu, intelektualen). Tetapi tidak pulalah tiap-tiap orang yang ‘alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW,itu.”
Kemudian Al-Ghazali berpendapat :
“ seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.”
Jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata-mata[6].
b. memberikan kasih sayang terhadap anak didik
Al-Ghazali mengatakan :
“Memberikan kasih sayang kepada murid-murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri.”
Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi, hubungan psikologis antara kedua orang tua dengan anaknya, seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran.

c.  menjadi teladan terhadap anak didik
Al-Ghazali mengatakan :
“ seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepal adalah lebih banyak.”
Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri teladan terhadap anak didik, mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modern indonesia[7].
d.   menghormati kode etik guru
Al-Ghazali mengatakan :
“ seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek-jelekan mata pelajaran lainnyadihadapan muridnya.”
Gagasan al-Ghazali itu relevan dengan apa yang dilaksanakan pada dunia pendidikan (indonesia) dewasa ini yaitu penyelenggaraan MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) di perguruan tinggi khususnya., yang diberikan pada setiap mahasiswa dari jurusan dan program pendidikan apapun yang arahnya adalah adanya saling mengargai dan menghormati antar disiplin ilmu profesi.
Pandangan al-Ghazali tersebut dalam dunia pendidikan sekarang dikembangkan menjadi kode etik pendidikan dalam arti yang luas, misalnya hubungan guru dengan soal-soal kenegaraan, dan hubungan guru dengan jabatan[8].

5.      Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seseorang pendidik adalah :
 a.       Sabar menerima masalah masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
b.  Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih
c.   Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/ pamer.
d.   Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang alim, dengan maksud mencegah tindakannya.
e.     Bersikap tawadhu’ dalam pertemuan-pertemuan
f.      Sikap dan pembicaraannya tidak main-main
g.     Menanamkan sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya
h.     Menyantuni serta tidak membentak-bentak orang-orang bodoh
i.                                            Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya
j.                                            Berani berkata : saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak dimengerti[9].
k.                                           
6.      Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Qabisi bahwa seorang guru boleh menerima gaji (upah). Sedangkan menurut al-Ghazali :
“ Al-Quran diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru) yang mengajarkannya. Ini adalah alasan agama yang menuntut para guru menunaikan tugas dan kewajibannya (bekerja) di jalan Allah”.
Sesungguhnya, kesimpulan Al Ghazali dalam hal mengharamkan gaji guru dapat dipahami secara tersirat, yaitu gaji yang tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam al ghazali itu adalah apabila Al Qur’an (ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.
Dalam sebuah hadist Rasul saw bersabda :
“ yang paling pantas kamu terima gaji karena ada kitab Allah (Al Qur’an). Tetapi rasul saw pada kesempatan lain juga bersabda : “ Bacalah Al Qur’an, jangan kamu cari makan dengan itu, jangan kamu mendegar-dengarnya.”
Sabda rasul ini yang memperteguh pendapat Al Ghazali untuk mengharamkan gaji guru[10].

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990)
Al-Jumbulati, Ali, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990)

0 komentar: