Profesi pendidik (pengajar) menurut Al-Ghazali
a. Alasan
yang berhubungan dengan sifat naluriah
Dalam kitab “Ihya ‘Ulumuddin” ia
mengatakan :
“ apabila ilmu pengetahuan itu lebih
utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu
. maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu[1]”
Jadi, mengajar dan mendidikadalah
sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan
dihormati oleh orang lain. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka
mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan.
Jika seorang pendidik dan anak
didiknya mampu saling menghormati dan saling menghargai diantara mereka maka
maka ilmu yang diberikan pendidik akan mudah merasuk kedalam otak anak
didiknya. Dan nantinya anak didik akan menjadi manusia yang terhormat dan
sekaligus dihormati. Disinilah letak kemuliaan seorang pengajar yang
diungkapkan oleh al-Ghazali.
b. Alasan
yang berhubungan dengan kemanfaatan umum
Al-Ghazali
dalam “Mizanul ‘Amal” mengatakan :
1) mencari
faedah dan guna ilmu,
2) mencari
hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya-tanya,
3) memberikan
wawasan ilmu dan pengajarannya, dan inilah keadaan yang termulia baginya.
Dengan demikian
pendapat al-Ghazali , sesuai dengan pandangan para sarjana pendidikan di
Indonesia, antara lain Dr. Sutari Imam Barnadib mengatakan :
“Mendidik
adalah suatu tugas yang luhur. Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pendidik
harus mempunyai kesenangan bekerja sama dengan orang lain atau untuk dengan
kata lain harus mempunyai sifat-sifat social yang besar.
Drs. Ali Saifuddin
H.A mengatakan :
“Pekerjaan guru
adalah pekerjaan yang paling mulia, sesuai dengan filsafat hidupnya yang
menjunjung tinggi nilai-nilai sikap pengabdian, yaitu memberikan pelayanan pada
masyarakat dan kemanusiaan.”(TIM Dosen IKIP Malang, 1981, 40)
c. Alasan
yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan
Al-Ghazali
menyebutkan :
“Seorang guru
adalah berurusan langsung denga hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling
mulia dimuka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari
bagian-bagian (jauhar)tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan adalah guru
bekerja menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, dan membawakan hati itu
mendekatkan kepada Allah SWT”
Jadi
kesimpulannya, seorang guru adalah orang yang menempati status yang mulia di
dartan bumi, ia meniddik jiwa, hati, akal dan roh manusia. Sedangkan jiwa
manusia adalah unsure yang paling mulia pada bagian tubuh manusia dan manusia
adalah makhluk yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Analisis yang deduktif dan induktif yang dikemkakan al-Ghazali
tersebut adalah sangat benar dan tepat sekali, karena ia juga mendalami
filsafat dan menguasai logika secara cermat dan akurat
Teknik mengajar dan adab sopan santun seorang guru
Al-Ghazali adalah sangat menyetujui tentang
pentingnya aspek keagamaan dalam pendidikan, tapi tidak mengabaikan aspek
amaliah meskipun belau tidak terlalu memusatkan perhatiannyapada aspek ini. Ia
mengkehendaki agar pendidikan dilandasi dengan agama dan akhlak. Itulah
sebabnya beliau memandang bahwa tekhnik mengajar merupakan pekerjaan yang
paling utama yang harus diikuti setiap orang. Pandangandemikian didasarkan atas
dalil naqli dan ‘aqli
Sifat-sifat yang harus dmiliki seorang guru
Al-Ghazali
menguraikan sejumlah sifat-sifat guru yang mencerminkan tugas yang harus
dilaksanakan oleh mereka yaitu mendidik akal dan pikiran, jiwa dan roh, yaitu :
a. Hendaknya
guru mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri, dengan ucapan : “Orang tua
adalah menjadi sebab wujudnya kehadiran anaknya dan kehidupan itu adalah
bersifat fana, dan guru menjadi sebab kehidupan yang abadi.”
Pengarahan kasih sayang kepada murid mengandung makna dan
tujuan perbaikan hubungan pergaulan dengan anak-anak didiknya, dan mendorong
mereka untuk mencintai pelajaran, guru, dan sekolah dengan tanpa berlaku kasar
terhadap mereka. Dengan dasar ini maka hubungan pergaulan antara guru dan murid
menjadi baik dan intim yang didasari atas rasa kasih sayang dan cinta serta
kehalusan budi.
b. Guru
jangan mencari bayaran dari pekerjaan mengajarkan demi mengikuti jejak
Rasulullah s.a.w dengan alasan bahwa pekerjaan mengajar itu lebih tinggi
harganya dari pada harta benda, cukuplah kiranya guru mendapatkan kebaikan
(fathilah) dan pengakuan tentang kemampuannya menunjukkan orang kepada jalan
kebenaran dan hak, kebaikan dan ilmu pengetahuan, dan yang lebih utama lagi
ialah guru dengan menunjukkan jalan yang hak kepada orang lain.
Sebenarnya al-Ghazali meyakini prinsip kewajiban mengajar
untuk orang yang berilmu pengetahuan yang mampu, semata-mata karena Allah dan
untuk mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga pahalanya besar sekali.
c. Guru
hendaknya menasehati muridnya agar jangan mencari ilmu untuk kemegahan atau
mencari penghidupan, akan tetapi menuntut ilmu demi untuk ilmu dan hal ini
merupakan dorongan ideal yang perlu diikuti[4].
Sebenarnya al-Ghazali mengarahkan ilmu ketingkat yang tinggi
untuk dipelajari karena ilmu dapat mengembangkan ilmu lainnya dan dapat
diperdalam pembahasannya.
d. Guru
wajib memberi nasihat murud-muridnya agar menuntut ilmu yang bermanfaat
tersebut (menurut beliau) ialah ilmu yang dapat membawa kepada kebahagiaan
hidup akhirat, yaitu ilmu agama.
e. Seorang
guru idola (taladan) yang baik dan contoh yang utama yang harus ditiru oleh
anak-anak (mereka menyerap kebiasaan yang baik yang dikembangkan oleh seorang
guru idola). Mereka senang mencontoh sifat-sifat dan meniru segala
tindak-tanduk guru yang diidolakan. Oleh sebab itu seorang guru wajib berjiwa
lembut yang penuh dengan tasammuh (lapang dada) penuh keutamaan, dan terpuji.
Sebaiknya guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak ia ajarkan, misalnya
mengajar ilmu fiqih dengan mengacaukan dengan pengajaran lughah (bahasa), atau
sebaliknya mengajarkan lughah dicampur-baurkan dengan fiqih. Jika hal itu
dikerjakan , maka ia berbuat tercela, tidak sesuai dengan tugasnya yang
terhormat.
f. Memperhatikan
bakat-kemampuan murid tingkat perkembangan akal dan pertumbuhan jasmaniahnya.
Al-Ghazali menganjurkan agar supaya guru memperhatikan
tahap-tahap peningkatan kemampuan anak dalam mempelajari ilmu dari satu jenjang
ke jenjang lain yang lebih tinggi.
g. harus
memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak (murid).
Pandangan al-Ghazali, agar guru memahami tentang
prinsip-prinsip tentang perbedaan individual di kalangan anak didik serta
tahapan perkembangan akal pikirannya, sehingga dengan pemahaman itu, guru dapat
mengerjakan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuan mereka, serta senantiasa
sejalan dengan tingkat kemampuan berpikir tiap anak didiknya. Dengan mengenal
perbedaan-perbedaan individual maka guru dapat membantu memperbaiki pandangan
pendidikan dan pengajaran keterampilan.
h. guru
hendaknya mampu mengamalkan ilmunya, agar ucapannya tidak mendustai
perbuatannya.
Al-Ghazali menegaskan kepada kita bahwa berpegang pada
prinsip-prinsip dan berusaha merealisasikan prinsip tersebut merupakan watak
seorang guru yang diidolakan (teladan), karena ucapan-ucapan yang sesuai dengan
prilakunya. Jika ia berpaling dari prinsip, dan tidak sesuai antara ucapan
dengan perbuatan maka menjadi sasaran penghinaan atau menjadi sumber
kerendahan, yang menyebabkan ia tidak mampu memimpin mereka dan menjadi
lemahnya daya bimbingan dan pandangannya.
Al-Ghazali menghendaki agar guru menjadi contoh teladan yang
baik bagi murid-muridnya. Jika kita amati kenyataan masa kini bahwa sistem
pendidikan tidak akan mengalami kerusakan disekolah-sekolah kita, kecuali jika
para guru tidak melakukan apa yang mereka katakan, sehingga murid-muridnya
tidak mendapatkan seseorang guru pun di antara mereka tokoh teladan dan ikutan
baik yang diteladani sebagai idola mereka. Dalam kaitan ini firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat yang tegas menyatakan sebagai berikut :
“Apakah kamu
memerintah manusia dngan perbuatan baik sedang kamu lupa terhadap dirimu
sendiri.” (Al-Baqarah, 44).
Disamping itu mereka melupakan arti syair yang mengatakan :
“Janganlah engkau melarang orang
lain berbuat akhlak jelek sedangkan kamu sendiri melakukannya.”
i. Mempelajari
hidup psikologis murid-muridnya.
Al-Ghazali menasehati guru agar mempelajari
kehidupan psikologis murid-muridnya, agar keragu-raguan antara guru dan
murid-murid lenyap, dan mereka dapat bergaul akrab, serta menghilangkan
gangguan-gangguan yang menghalangi hubungan mereka dengan murid-muridnya
Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali
menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus
dari kitabnya : “Ihya “Ulumuddin” dan “Mizan Al Amal”, dengan pembahasan yang
luas dan mendalam. Dapat diuraikan sebagai berikut :
a. mengikuti
jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya
“ Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi
ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya ‘alim (berilmu, intelektualen).
Tetapi tidak pulalah tiap-tiap orang yang ‘alim itu layak menempati kedudukan
sebagai ganti Rasulullah SAW,itu.”
Kemudian
Al-Ghazali berpendapat :
“ seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW,
maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan
ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya.”
Jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas
mengajarkannya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata-mata[6].
b.
memberikan kasih sayang terhadap anak didik
Al-Ghazali
mengatakan :
“Memberikan
kasih sayang kepada murid-murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya
sendiri.”
Dengan
demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua
anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan
anaknya. Jadi, hubungan psikologis antara kedua orang tua dengan anaknya,
seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga
hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam
proses pendidikan dan pengajaran.
c.
menjadi teladan terhadap anak didik
Al-Ghazali
mengatakan :
“
seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi
perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati.
Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai
mata kepal adalah lebih banyak.”
Dapat
dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri
teladan terhadap anak didik, mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan
modern indonesia[7].
d. menghormati
kode etik guru
Al-Ghazali
mengatakan :
“
seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran, sebaiknya jangan
menjelek-jelekan mata pelajaran lainnyadihadapan muridnya.”
Gagasan
al-Ghazali itu relevan dengan apa yang dilaksanakan pada dunia pendidikan
(indonesia) dewasa ini yaitu penyelenggaraan MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) di
perguruan tinggi khususnya., yang diberikan pada setiap mahasiswa dari jurusan
dan program pendidikan apapun yang arahnya adalah adanya saling mengargai dan
menghormati antar disiplin ilmu profesi.
Pandangan
al-Ghazali tersebut dalam dunia pendidikan sekarang dikembangkan menjadi kode
etik pendidikan dalam arti yang luas, misalnya hubungan guru dengan soal-soal
kenegaraan, dan hubungan guru dengan jabatan[8].
5. Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali
mengemukakan syarat-syarat kepribadian seseorang pendidik adalah :
a. Sabar
menerima masalah masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
b.
Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih
c. Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/ pamer.
d. Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang alim, dengan
maksud mencegah tindakannya.
e. Bersikap tawadhu’ dalam pertemuan-pertemuan
f. Sikap
dan pembicaraannya tidak main-main
g. Menanamkan sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua
murid-muridnya
h. Menyantuni serta tidak membentak-bentak orang-orang bodoh
i. Membimbing
dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya
k.
6. Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali
Menurut
Al-Qabisi bahwa seorang guru boleh menerima gaji (upah). Sedangkan menurut
al-Ghazali :
“
Al-Quran diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru) yang
mengajarkannya. Ini adalah alasan agama yang menuntut para guru menunaikan
tugas dan kewajibannya (bekerja) di jalan Allah”.
Sesungguhnya,
kesimpulan Al Ghazali dalam hal mengharamkan gaji guru dapat dipahami secara
tersirat, yaitu gaji yang tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam al ghazali
itu adalah apabila Al Qur’an (ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk
mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari
seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah
tangganya.
Dalam
sebuah hadist Rasul saw bersabda :
“
yang paling pantas kamu terima gaji karena ada kitab Allah (Al Qur’an). Tetapi
rasul saw pada kesempatan lain juga bersabda : “ Bacalah Al Qur’an, jangan kamu
cari makan dengan itu, jangan kamu mendegar-dengarnya.”
Sabda
rasul ini yang memperteguh pendapat Al Ghazali untuk mengharamkan gaji guru[10].
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1990)
Al-Jumbulati, Ali, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990)
0 komentar:
Post a Comment