BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan Islam merupakan upaya
yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar
berkembang dan tumbuh menjadi pribadi muslim yang sempurna, yakni: beriman
kuat, beramal sholih, berakhlak mulia, sehat jasmani rohani dan memiliki
pengetahuan tentang keislaman yang relevansi dengan karakteristik
masyarakatnya. Sehingga hasil dari pendidikan benar-benar dapat dirasakan oleh
siswa ketika mereka telah terjun ke masyarakat.
Pengetahuan Sosial dan Pendidikan
Islam sebagai suatu mata pelajaran menjadi wahana dan alat bagi peserta didik untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan antara lain: siapa dirinya dihadapan masyarakat?
Persyaratan-persyaratan apakah yang diperlukan dari saya untuk menjadi anggota
suatu kelompok masyarakat dan bangsa? Bagaimana kehidupan manusia dan
masyarakat berubah dari waktu ke waktu yang berikutnya? Pertanyaan-pertanyaan
diatas perlu dijawab oleh setiap orang terutama generasi muda dan jawabannya
telah disediakan dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber Pendidikana Agama
Islam (PAI) dan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara sistematis
dan komprehensif
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat kami
rumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana potret pendidikan di
Sekolah Negeri?
2. Bagaimana implementasi pendidikan
Islam di Sekolah Negeri?
C. Tujuan Penulis Makalah
Darp penulisan makalah ini diharapkan:
1.
Pembaca dan
penulis dapat mengetahui implementasi pendidikan Islam di Sekolah Negeri.
2.
Makalah ini
diajukan sebagai tugas individu mata kuliah Politik dan Etika Pendidikan
Islam
3.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Potret Pendidikan di Sekolah Negeri
Sebut saja Linda (bukan nama sebenarnya),
ketika hendak mengambil rapot anaknya, kelas X di sebuah SMA negeri di wilayah
Timur Jakarta mengalami hambatan. Ia harus membayar sisa cicilan uang pangkal
yang disebut IPDB, baru bisa mengambil rapot. IPDB beberapa juta rupiah, jika
bisa dibayar lunas tentu tak masalah, sebab itu hanya bisa dilakukan oleh orang
mampu. Linda tak sanggup membendung airmatanya ketika ia harus berhadapan
dengan Komite Sekolah (konon disebut “preman berseragam/berkerudung”), harus
membayar cicilan berikutnya, minimal lima ratus ribu rupiah, barulah bisa
mendapatkan rapotnya.
Bagi keluarga berpenghasilan lemah, tentu hanya
bisa mencicil, sebab tak ada yang disebut keringanan mutlak dibebaskan dari
kewajiban membayar. Jika pun ingin bebas, tentu harus melalui surat keterangan
dari RT/RW atau tetangga sekitarnya, lalu Lurah. Setelah mendapat stempel
“miskin”, barulah bisa dibebaskan dari kewajiban membayar.
Tentu syarat seperti itu sungguh
berbelit-belit, sedang untuk si anak, akan berakibat fatal, “malu” terhadap
teman-temannya. Namun Linda hampir berkeras untuk tak membayar cicilan, sebab
uang gajinya yang baru diterima bulan itu, hanya cukup untuk makan sebulan
berikutnya (yang belum tentu juga cukup), bersama ketiga anak-anaknya. Akhirnya
ia memutuskan untuk membayar cicilan dengan airmata berlinang, menghadap wali
kelasnya untuk menunjukkan bukti pembayaran.
Ilustrasi selanjutnya tak perlu dijelaskan
panjang lebar, takut menjadi ajang curhat pribadi. Namun persoalan yang ingin
saya angkat adalah, pungutan-pungutan yang serba tak jelas dan tak ada surat
edaran resmi dari sekolah kepada orang tua murid. Acapkali ketika ditanyakan
“Mana surat edarannya?” anak akan menjawab “Tidak ada”. Alhasil, orang tua
hanya bisa mengelus dada, menelan ludah dan mengernyitkan alis. Pening kepala
pun berlanjut.
Saya jadi teringat ketika pertama kali
digembargemborkan “sekolah gratis” atau APBN 20% untuk pendidikan, lalu ada
pemantauan dari pihak pemerintah untuk terus memonitor sepak terjang Kepala
Sekolah dan jajaran guru di sekolah sekolah negeri agar tak mengenakan pungutan
ekstra (dengan dalih apapun namanya). Terbukti, pemberlakuan monitoring itu
hanya berhembus sesaat, lalu menguap. Terlepas dari sisi wartawannya ingin
memeras atau apapun namanya. Tetapi pungutan “liar” itu masih berjalan hingga
saat ini.
Persoalan berlanjut pada biaya daftar ulang.
Jika alasannya karena untuk membeli buku-buku wajib pelajaran, masih bisa
dimengerti, tetapi kemudian ada alasan uang ini dan itu yang mengakibatkan
biaya daftar ulang membengkak. Belum lagi ada cicilan “tabungan” untuk liburan
akhir semester ke luar kota, misalnya : Bali, Jogya, Bromo, Batam atau
lain-lainnya. Lho, ini acara untuk guru bersenang-senang atau kebutuhan anak
didik?
Sebagai orang awam, tentu saya jadi miris
karena alasan utama kenaikan dan pungutan-pungutan itu adalah untuk membayar
guru honorer, yang juga tak jelas berapa jumlahnya, dan berapa honor setiap
guru tersebut dalam sebulan. Sementara guru-guru PNS bisa memiliki mobil mewah,
ke sekolah atau ke lain tempat untuk mencari penghasilan tambahan. Di pihak
lain, mengapa begitu sulit untuk mengangkat guru honorer menjadi PNS? Apakah
karena harus UUD (ujung-ujungnya Duit).
Alasan kedua adalah untuk memperbaiki
infrastruktur sekolah. Infrastruktur yang mana jika setiap tahun pemandangan
tak pernah berganti, situasi areal gedung sekolah juga masih sama, lapangan,
aula, musholla, ruang kelas, kebun, ruang praktikum, dsb. Lalu uang IPDB yang
terkumpul di awal masuk itu untuk apa atau siapa?
Tentu jumlahnya bisa ratusan juta, bahkan
milyaran yang tentu seharusnya akan sanggup untuk memperbaiki komputer yang
rusak atau update software, atau AC (yang hanya untuk ruang guru) atau lemari
cabinet di tiap kelas yang sudah reyot, atau bangku santai di depan ruang ruang
kelas. Bahkan mungkin tempat duduk siswa yang sudah “jomplang” beberapa buah.
Semua bisa dihitung secara kasat mata. Tapi tentu tak ada yang berani
mengangkat “pungutan tak jelas” itu sebagai sebuah persoalan bersama yang harus
diberantas. Tidak ada bukti berupa surat edaran yang bisa diajukan ke PTUN
bidang pendidikan, atau ke DPR sebagai pembuat undang-undang. Jika pun akan
protes, banyak yang mungkin takut jika anaknya akan terancam proses belajarnya,
atau akan mengalami tekanan mental dari guru-gurunya, dsb.
Ternyata bukan hanya sekolah anak Linda yang
memberlakukan tabungan akhir tahun bepergian ke luar kota, tetapi banyak
anak-anak SMA dari sekolah lain yang juga mengalami pungutan sama. Bahkan ada
satu sekolah yang berencana untuk berwisata ke Singapura, negeri tetangga.
Aneh!
Persoalan kembali menjadi blunder, ketika
dikaitkan dengan kebutuhan peserta didik dengan semua wisata tersebut.
Mengingat orang tua mereka sendiri belum pernah menjejakkan kakinya di Bali,
atau Batam, atau Jogya, bahkan Singapura. Sedangkan si anak dipaksa membayar
untuk itu. kesimpulan yang diperoleh hanya satu : guru-guru ingin berwisata
gratis dengan fasilitas iuran siswa. Aduhai!
Logika apa yang bisa diterima secara alamiah
tentang segala pungutan itu? Apa hasil yang bisa diperoleh siswa usai
menamatkan pendidikannya? Adakah berwisata ke segala tempat itu termasuk dalam
tujuan pendidikan? Belum lagi ancaman yang bernada “persuasive”, jika tidak
ikut, maka akan………dan seterusnya. Beginikah potret pendidikan di sekolah Negeri?
B.
Pendidikan
Islam di Sekolah Negeri
Kurikulum
PAI merupakan salah satu komponen penting untuk mencetak generasi bangsa yang
berakhlak dan bermatabat. Namun kurikulum PAI di
Sekolah Negeri selama
ini dianggap hanya mendidik aspek kognitif (transfer of knowladge) dan
belum banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor (transfer of value). Ini
terbukti dari banyaknya pelajar yang terlibat tawuran antar pelajar, para
pelajar yang terjerat dalam dunia narkoba, sekumpulan pelajar yang pada jam-jam
sekolah berada di pusat-pusat perbelanjaan dan keramaian. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pengembangan kurikulum PAI di
Sekolah Negeri yang
mengakomodir aspek kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga pendidikan tidak
hanya bersifat transfer of knowladge tetapi juga transfer of value.
Selain berdasarkan fakta tersebut, pengembangan kurikulum PAI sudah semestinya
dilakukan, hal ini difahami dari UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 19
Tahun 2005 tentang SNP, Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas
No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24 Tahun
2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23.
Pengembangan
kurikulum PAI mengandung pengertian perluasan atau penyempurnaan sekumpulan
materi pokok PAI dan apa saja yang dialami peserta didik atau segala upaya
(rekayasa) yang diprogramkan sekolah dalam membantu mengembangkan potensi
peserta didik melalui pengalaman belajar yang potensial untuk mencapai visi,
misi, tujuan sekolah
Menatap masa depan pendidikan Islam di
Sekolah Negeri, tampaknya kita harus menghindarkan diri melihat pendidikan
Islam semata-semata sebagai sebuah ladang tempat ibadah dan pengabdian. Sekolah
Negeri perlu dilihat sebagai sebuah institusi sosial yang selalu dituntut untuk
merespon segala perubahan yang terjadi
disekelilingnya. Apakah itu perubahan dalam institusi politik, sosial, ekonomi
dan peradaban.
Sebagai institusi sosial, Sekolah
Negeri menghadapi
bermacam harapan-harapan dari masyarakat disekelilingnya. Tanpa memperhatikan
perubahan orientasi yang berkembang
dimasyarakat. Niscaya Sekolah Negeri hanya akan
menjadi sebuah museum yang keberadaanya
tak akan lagi diminati masyarakat.
Dalam kerangka berfikir inilah,
Sosiologi dapat dijadikan sebagai pendekatan
Pendidikan Islam untuk menulusuri perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Bagaimana kira-kira arah perubahan masyarakat kita dimasa
mendatang? Bagaimana formasi sosial yang akan terbentuk? Dalam masyarakat yang
sedang berubah itu, pendidkan Islam dapat memainkan peranannya.
Disadari atau tidak, masyarakat kita
sekarang sedang dalam proses perubahan dari masyarakat agraria (pedesaan)
menuju masyarakat industrial (Perkotaan). Masyarakat Agraria adalah masyarakat
yang bertopang dari ekonomi pertanian dan ditandai dengan pola-pola kehidupan
tradisional, yaitu masih kentalnya sistem kekerabatan, kepercayaan yang tinggi
terhadap hal-hal yang irrasional, dan cara berfikir yang relatif sederhana.
Format sosial yang demikian jelas
berbeda dengan format masyarakat
industrial. Pola hubungan sosial dalam masyarakat industrial tidak lagi
bersifat sederhana dan tradisional, tetapi tergantung kepada
kepentingan-kepentingan yang bersifat rasional. Hubungan antara orang maupun lembaga-lembaga yang ada
disekelilingnya lebih bersifat fungsional.
Artinya, mereka akan berhubungan dengan orang atau lembaga tersebut,
jika dengan itu mereka akan memetik keuntungan atau nilai lebih bagi
dirinya.ini bukan persoalan ikhlas atau tidak dalam idiom agama. Tapi memang
begitulah cara berfikir masyarakat industrial.
Harapan-harapan manusia juga
berubah. Jika sebelumnya orang menyekolahkan anaknya atas dasar semata-mata
karena itu amanah ilahi, maka di dalam masyarakat industrial tidak demikian.
Anak akan dianggap memiliki fungsi bagi kehidupan orang tuanya. Mungkin, yang
namanya fungsional tidak hanya bersifat materi, tetapi juga bersifat
immaterial. Mungkin orang tua tidak mengharapkan anaknya kelak akan bisa
membantu uang jika sudah menjadi orang, tapi paling tidak mereka menyimpan
harapan bahwa anaknya bisa mengangkat
derajat atau status sosial orang tuanya di masa depan. Jadi bukan semata-mata
fungsional secara ekonomi, tetapi juga
fungsional secara sosial. Dalam konteks ini orang tua menyekolahkan anaknya
bukan semata-mata karena kewajiban Ilahiyyah, tapi juga karena anak akan
memberikan harapan bagi orang tuanya di masa mendatang.
Perubahan masyarakat memang tidak
dapat cegah, karena memang begitulah tuntutan zaman terlebih diera globalisasi
dan modernisasi. Siapa yang tidak berusaha mengadakan perubahan maka akan
ketinggalan. Peran pendidikan islam dalam hal ini adalah memberikan pedoman
hidup manusia dan memberikan solusi yang tegas terhadap berbagai persoalan
kemanusian. Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu mendapat prioritas
utama dalam pendidikan islam adalah persoalan etika. Etika dan moralitas adalah
puncak nilai keberagaman seorang muslim. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi
Muhammad yang mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kurikulum
PAI merupakan salah satu komponen penting untuk mencetak generasi bangsa yang
berakhlak dan bermatabat. Namun kurikulum PAI di
Sekolah Negeri selama
ini dianggap hanya mendidik aspek kognitif (transfer of knowladge) dan
belum banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor (transfer of value). Ini
terbukti dari banyaknya pelajar yang terlibat tawuran antar pelajar, para
pelajar yang terjerat dalam dunia narkoba, sekumpulan pelajar yang pada jam-jam
sekolah berada di pusat-pusat perbelanjaan dan keramaian. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pengembangan kurikulum PAI di
Sekolah Negeri yang
mengakomodir aspek kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga pendidikan tidak
hanya bersifat transfer of knowladge tetapi juga transfer of value.
Selain berdasarkan fakta tersebut, pengembangan kurikulum PAI sudah semestinya
dilakukan, hal ini difahami dari UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 19
Tahun 2005 tentang SNP, Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas
No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23.
DAFTAR
PUSTAKA
Mimbar, 2006, Problematika Pengetahuan Sosial Sebagai Mata
Pelajaran yang Terintegrasi, edisi Juli. Surabaya, di cetak oleh: PT Antar
Surya Jaya.
Pamenang,
2010, Potret Pendidikan Kita, edisi Nopember, Kediri, diterbitkan
oleh: Seksi PENAMAS kab. Kediri.
0 komentar:
Post a Comment