MENU BLOG

Thursday, 2 October 2014

Makalah: Pendidikan Islam di Sekolah Negeri

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan Islam merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi pribadi muslim yang sempurna, yakni: beriman kuat, beramal sholih, berakhlak mulia, sehat jasmani rohani dan memiliki pengetahuan tentang keislaman yang relevansi dengan karakteristik masyarakatnya. Sehingga hasil dari pendidikan benar-benar dapat dirasakan oleh siswa ketika mereka telah terjun ke masyarakat.
Pengetahuan Sosial dan Pendidikan Islam sebagai suatu mata pelajaran menjadi wahana dan alat  bagi peserta didik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan antara lain: siapa dirinya dihadapan masyarakat? Persyaratan-persyaratan apakah yang diperlukan dari saya untuk menjadi anggota suatu kelompok masyarakat dan bangsa? Bagaimana kehidupan manusia dan masyarakat berubah dari waktu ke waktu yang berikutnya? Pertanyaan-pertanyaan diatas perlu dijawab oleh setiap orang terutama generasi muda dan jawabannya telah disediakan dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber Pendidikana Agama Islam (PAI) dan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara sistematis dan komprehensif

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat kami rumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana potret pendidikan di Sekolah Negeri?
2.      Bagaimana implementasi pendidikan Islam di Sekolah Negeri?

C.    Tujuan Penulis Makalah
Darp penulisan makalah ini diharapkan:
1.      Pembaca dan penulis dapat mengetahui implementasi pendidikan Islam di Sekolah Negeri.
2.      Makalah ini diajukan sebagai tugas individu mata kuliah Politik dan Etika Pendidikan Islam


3.       
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Potret Pendidikan di Sekolah Negeri
Sebut saja Linda (bukan nama sebenarnya), ketika hendak mengambil rapot anaknya, kelas X di sebuah SMA negeri di wilayah Timur Jakarta mengalami hambatan. Ia harus membayar sisa cicilan uang pangkal yang disebut IPDB, baru bisa mengambil rapot. IPDB beberapa juta rupiah, jika bisa dibayar lunas tentu tak masalah, sebab itu hanya bisa dilakukan oleh orang mampu. Linda tak sanggup membendung airmatanya ketika ia harus berhadapan dengan Komite Sekolah (konon disebut “preman berseragam/berkerudung”), harus membayar cicilan berikutnya, minimal lima ratus ribu rupiah, barulah bisa mendapatkan rapotnya.
Bagi keluarga berpenghasilan lemah, tentu hanya bisa mencicil, sebab tak ada yang disebut keringanan mutlak dibebaskan dari kewajiban membayar. Jika pun ingin bebas, tentu harus melalui surat keterangan dari RT/RW atau tetangga sekitarnya, lalu Lurah. Setelah mendapat stempel “miskin”, barulah bisa dibebaskan dari kewajiban membayar.
Tentu syarat seperti itu sungguh berbelit-belit, sedang untuk si anak, akan berakibat fatal, “malu” terhadap teman-temannya. Namun Linda hampir berkeras untuk tak membayar cicilan, sebab uang gajinya yang baru diterima bulan itu, hanya cukup untuk makan sebulan berikutnya (yang belum tentu juga cukup), bersama ketiga anak-anaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk membayar cicilan dengan airmata berlinang, menghadap wali kelasnya untuk menunjukkan bukti pembayaran.
Ilustrasi selanjutnya tak perlu dijelaskan panjang lebar, takut menjadi ajang curhat pribadi. Namun persoalan yang ingin saya angkat adalah, pungutan-pungutan yang serba tak jelas dan tak ada surat edaran resmi dari sekolah kepada orang tua murid. Acapkali ketika ditanyakan “Mana surat edarannya?” anak akan menjawab “Tidak ada”. Alhasil, orang tua hanya bisa mengelus dada, menelan ludah dan mengernyitkan alis. Pening kepala pun berlanjut.
Saya jadi teringat ketika pertama kali digembargemborkan “sekolah gratis” atau APBN 20% untuk pendidikan, lalu ada pemantauan dari pihak pemerintah untuk terus memonitor sepak terjang Kepala Sekolah dan jajaran guru di sekolah sekolah negeri agar tak mengenakan pungutan ekstra (dengan dalih apapun namanya). Terbukti, pemberlakuan monitoring itu hanya berhembus sesaat, lalu menguap. Terlepas dari sisi wartawannya ingin memeras atau apapun namanya. Tetapi pungutan “liar” itu masih berjalan hingga saat ini.
Persoalan berlanjut pada biaya daftar ulang. Jika alasannya karena untuk membeli buku-buku wajib pelajaran, masih bisa dimengerti, tetapi kemudian ada alasan uang ini dan itu yang mengakibatkan biaya daftar ulang membengkak. Belum lagi ada cicilan “tabungan” untuk liburan akhir semester ke luar kota, misalnya : Bali, Jogya, Bromo, Batam atau lain-lainnya. Lho, ini acara untuk guru bersenang-senang atau kebutuhan anak didik?
Sebagai orang awam, tentu saya jadi miris karena alasan utama kenaikan dan pungutan-pungutan itu adalah untuk membayar guru honorer, yang juga tak jelas berapa jumlahnya, dan berapa honor setiap guru tersebut dalam sebulan. Sementara guru-guru PNS bisa memiliki mobil mewah, ke sekolah atau ke lain tempat untuk mencari penghasilan tambahan. Di pihak lain, mengapa begitu sulit untuk mengangkat guru honorer menjadi PNS? Apakah karena harus UUD (ujung-ujungnya Duit).
Alasan kedua adalah untuk memperbaiki infrastruktur sekolah. Infrastruktur yang mana jika setiap tahun pemandangan tak pernah berganti, situasi areal gedung sekolah juga masih sama, lapangan, aula, musholla, ruang kelas, kebun, ruang praktikum, dsb. Lalu uang IPDB yang terkumpul di awal masuk itu untuk apa atau siapa?
Tentu jumlahnya bisa ratusan juta, bahkan milyaran yang tentu seharusnya akan sanggup untuk memperbaiki komputer yang rusak atau update software, atau AC (yang hanya untuk ruang guru) atau lemari cabinet di tiap kelas yang sudah reyot, atau bangku santai di depan ruang ruang kelas. Bahkan mungkin tempat duduk siswa yang sudah “jomplang” beberapa buah. Semua bisa dihitung secara kasat mata. Tapi tentu tak ada yang berani mengangkat “pungutan tak jelas” itu sebagai sebuah persoalan bersama yang harus diberantas. Tidak ada bukti berupa surat edaran yang bisa diajukan ke PTUN bidang pendidikan, atau ke DPR sebagai pembuat undang-undang. Jika pun akan protes, banyak yang mungkin takut jika anaknya akan terancam proses belajarnya, atau akan mengalami tekanan mental dari guru-gurunya, dsb.
Ternyata bukan hanya sekolah anak Linda yang memberlakukan tabungan akhir tahun bepergian ke luar kota, tetapi banyak anak-anak SMA dari sekolah lain yang juga mengalami pungutan sama. Bahkan ada satu sekolah yang berencana untuk berwisata ke Singapura, negeri tetangga. Aneh!
Persoalan kembali menjadi blunder, ketika dikaitkan dengan kebutuhan peserta didik dengan semua wisata tersebut. Mengingat orang tua mereka sendiri belum pernah menjejakkan kakinya di Bali, atau Batam, atau Jogya, bahkan Singapura. Sedangkan si anak dipaksa membayar untuk itu. kesimpulan yang diperoleh hanya satu : guru-guru ingin berwisata gratis dengan fasilitas iuran siswa. Aduhai!
Logika apa yang bisa diterima secara alamiah tentang segala pungutan itu? Apa hasil yang bisa diperoleh siswa usai menamatkan pendidikannya? Adakah berwisata ke segala tempat itu termasuk dalam tujuan pendidikan? Belum lagi ancaman yang bernada “persuasive”, jika tidak ikut, maka akan………dan seterusnya. Beginikah potret pendidikan di sekolah Negeri?

B.     Pendidikan Islam di Sekolah Negeri
Kurikulum PAI merupakan salah satu komponen penting untuk mencetak generasi bangsa yang berakhlak dan bermatabat. Namun kurikulum PAI di Sekolah Negeri selama ini dianggap hanya mendidik aspek kognitif (transfer of knowladge) dan belum banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor (transfer of value). Ini terbukti dari banyaknya pelajar yang terlibat tawuran antar pelajar, para pelajar yang terjerat dalam dunia narkoba, sekumpulan pelajar yang pada jam-jam sekolah berada di pusat-pusat perbelanjaan dan keramaian. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan kurikulum PAI di Sekolah Negeri yang mengakomodir aspek kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga pendidikan tidak hanya bersifat transfer of knowladge tetapi juga transfer of value. Selain berdasarkan fakta tersebut, pengembangan kurikulum PAI sudah semestinya dilakukan, hal ini difahami dari UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP, Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23.
Pengembangan kurikulum PAI mengandung pengertian perluasan atau penyempurnaan sekumpulan materi pokok PAI dan apa saja yang dialami peserta didik atau segala upaya (rekayasa) yang diprogramkan sekolah dalam membantu mengembangkan potensi peserta didik melalui pengalaman belajar yang potensial untuk mencapai visi, misi, tujuan sekolah
Menatap masa depan pendidikan Islam di Sekolah Negeri, tampaknya kita harus menghindarkan diri melihat pendidikan Islam semata-semata sebagai sebuah ladang tempat ibadah dan pengabdian. Sekolah Negeri perlu dilihat sebagai sebuah institusi sosial yang selalu dituntut untuk merespon  segala perubahan yang terjadi disekelilingnya. Apakah itu perubahan dalam institusi politik, sosial, ekonomi dan peradaban.
Sebagai institusi sosial, Sekolah Negeri menghadapi bermacam harapan-harapan dari masyarakat disekelilingnya. Tanpa memperhatikan perubahan  orientasi yang berkembang dimasyarakat. Niscaya Sekolah Negeri hanya akan menjadi sebuah museum yang keberadaanya  tak akan lagi diminati masyarakat.
Dalam kerangka berfikir inilah, Sosiologi dapat dijadikan sebagai pendekatan  Pendidikan Islam untuk menulusuri perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Bagaimana kira-kira arah perubahan masyarakat kita dimasa mendatang? Bagaimana formasi sosial yang akan terbentuk? Dalam masyarakat yang sedang berubah itu, pendidkan Islam dapat memainkan peranannya.
Disadari atau tidak, masyarakat kita sekarang sedang dalam proses perubahan dari masyarakat agraria (pedesaan) menuju masyarakat industrial (Perkotaan). Masyarakat Agraria adalah masyarakat yang bertopang dari ekonomi pertanian dan ditandai dengan pola-pola kehidupan tradisional, yaitu masih kentalnya sistem kekerabatan, kepercayaan yang tinggi terhadap hal-hal yang irrasional, dan cara berfikir yang relatif sederhana.
Format sosial yang demikian jelas berbeda dengan format masyarakat  industrial. Pola hubungan sosial dalam masyarakat industrial tidak lagi bersifat sederhana dan tradisional, tetapi tergantung kepada kepentingan-kepentingan yang bersifat rasional. Hubungan antara  orang maupun lembaga-lembaga yang ada disekelilingnya lebih bersifat fungsional.  Artinya, mereka akan berhubungan dengan orang atau lembaga tersebut, jika dengan itu mereka akan memetik keuntungan atau nilai lebih bagi dirinya.ini bukan persoalan ikhlas atau tidak dalam idiom agama. Tapi memang begitulah cara berfikir masyarakat industrial.
Harapan-harapan manusia juga berubah. Jika sebelumnya orang menyekolahkan anaknya atas dasar semata-mata karena itu amanah ilahi, maka di dalam masyarakat industrial tidak demikian. Anak akan dianggap memiliki fungsi bagi kehidupan orang tuanya. Mungkin, yang namanya fungsional tidak hanya bersifat materi, tetapi juga bersifat immaterial. Mungkin orang tua tidak mengharapkan anaknya kelak akan bisa membantu uang jika sudah menjadi orang, tapi paling tidak mereka menyimpan harapan bahwa anaknya  bisa mengangkat derajat atau status sosial orang tuanya di masa depan. Jadi bukan semata-mata fungsional secara  ekonomi, tetapi juga fungsional secara sosial. Dalam konteks ini orang tua menyekolahkan anaknya bukan semata-mata karena kewajiban Ilahiyyah, tapi juga karena anak akan memberikan harapan bagi orang tuanya di masa mendatang.
Perubahan masyarakat memang tidak dapat cegah, karena memang begitulah tuntutan zaman terlebih diera globalisasi dan modernisasi. Siapa yang tidak berusaha mengadakan perubahan maka akan ketinggalan. Peran pendidikan islam dalam hal ini adalah memberikan pedoman hidup manusia dan memberikan solusi yang tegas terhadap berbagai persoalan kemanusian. Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu mendapat prioritas utama dalam pendidikan islam adalah persoalan etika. Etika dan moralitas adalah puncak nilai keberagaman seorang muslim. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kurikulum PAI merupakan salah satu komponen penting untuk mencetak generasi bangsa yang berakhlak dan bermatabat. Namun kurikulum PAI di Sekolah Negeri selama ini dianggap hanya mendidik aspek kognitif (transfer of knowladge) dan belum banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor (transfer of value). Ini terbukti dari banyaknya pelajar yang terlibat tawuran antar pelajar, para pelajar yang terjerat dalam dunia narkoba, sekumpulan pelajar yang pada jam-jam sekolah berada di pusat-pusat perbelanjaan dan keramaian. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan kurikulum PAI di Sekolah Negeri yang mengakomodir aspek kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga pendidikan tidak hanya bersifat transfer of knowladge tetapi juga transfer of value. Selain berdasarkan fakta tersebut, pengembangan kurikulum PAI sudah semestinya dilakukan, hal ini difahami dari UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP, Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23.





DAFTAR PUSTAKA

Mimbar, 2006, Problematika Pengetahuan Sosial Sebagai Mata Pelajaran yang Terintegrasi, edisi Juli. Surabaya, di cetak oleh: PT Antar Surya Jaya.


Pamenang, 2010, Potret Pendidikan Kita, edisi Nopember, Kediri, diterbitkan oleh: Seksi PENAMAS kab. Kediri.

0 komentar: